Sabtu, 27 Oktober 2012

Korban Ibrahim

Rahasia Berkah Idul Adha

 Mengenai peringatan hari raya Idul Adha, Al-Quran mencatat sebuah ayat yang menarik.  Ayat ini tentang pengurbanan Nabi Ibrahim AS.  Ia mengurbankan seekor domba jantan sebagai pengganti anak lelaki yang disayanginya. “Kami tebusi anaknya itu sembelihan yang besar (seekor kambing / domba).” (QS 37:107).

Al-Quran Menggambarkan Sembelihan Dengan “Adzim” (Besar)

“Adzim” (Besar) adalah nama yang digunakan bagi Allah. Tapi ayat diatas juga menggunakan nama tersebut bagi korban sembelihan yang nilainya lebih kecil dibandingkan anak Ibrahim. Apa maksud Al-Quran dengan ayat tersebut?

“Sembelihan besar” ini adalah sebuah simbol yang melambangkan keagungan. “Sembelihan besar” menjadi alat penebusan Allah bagi anak lelaki Ibrahim.  Inilah merupakan kemurahan hati Allah. Kematian domba jantan itu telah menebus manusia dan memberikan hidup kepadanya.

Allah yang Menebus dan Menyediakan

Karena Allah yang menebus anak lelaki Ibrahim melalui sembelihan. Sembelihan yang Allah sediakan ialah sebuah domba jantan yang benar-benar murni dan tanpa cacat sedikitpun.

Al-Quran tidak bicara mengenai tempat penyembelihan tersebut.  Namun Kitab Taurat, Kejadian 22:3 menulis: Allah memerintahkan Ibrahim untuk pergi ke Gunung Moria. Ratusan tahun kemudian, Raja Sulaiman membangun Bait Allah di atas gunung yang sama.

Apa Tujuan Berkurban Pada Idul Adha?

Beberapa orang berpendapat tujuan berkurban supaya orang miskin dapat mengambil manfaat dengan makan dagingnya. Pendapat itu tidak salah.  Tetapi benarkah tujuan Allah atas kurban semata-mata hanya itu?

Tidak ada perintah dalam Al-Quran untuk berkurban saat Idul Adha. Satu-satunya alasan adalah meneladani ketaatan Nabi Ibrahim saat berkurban (QS 37:100-113). Dan saat itu dia tidak berada diantara orang-orang miskin.

Karena dia takut kepada Allah dan menyadari dosa-dosanya, maka dia memerlukan tebusan dari Allah. Al-Quran mencatat “Dan yang amat kuinginkan (Nabi Ibrahim) akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat" (QS 26:82). Maka seharusnya tujuan seseorang berkurban adalah karena percaya kepada Allah, pada apa yang telah dilakukan-Nya serta memohon pengampunan dan penebusan-Nya.

Kurban Seperti Apakah Yang Layak Menggantikan Kita Dihadapan Allah?

Sapi KurbanDaging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.  . . . ” (QS 22:37)

Kurban yang layak menggantikan kita dihadapan Allah haruslah lebih tinggi dari seekor hewan. Karena Allah hanya menerima ketaqwaan yang hanya dimiliki oleh manusia, maka kurban yang dapat diterima Allah hanyalah kurban seorang manusia.

Ciri-ciri “Kurban Besar”

Jelas, harus manusia suci, tanpa dosa, dan dikirim Allah. Beberapa orang berpendapat bahwa semua nabi tidak berdosa. Benarkah demikian?  Al-Quran mencatat: Adam dan Hawa berdosa (QS 7:23 ); Nuh berdosa (QS 11:47 ); Ibrahim berdosa (QS 26:82; 14:41 ); Musa berdosa (QS 28:15-16); Harun berdosa (QS 20:93); Daud berdosa (QS 38:24 ); Sulaiman berdosa (QS 38:32,35 ); Yunus berdosa (QS 21:87 ); Muhammad berdosa (QS 48:2; 47:19).

Bagaimana dengan Isa Al-Masih? Tidak ada ayat dalam Al-Quran yang mengatakan Isa Al-Masih berdosa. Sebaliknya Al-Quran mencatat: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci."  Kata “suci” hanya ditujukan kepada Isa Al-Masih. Kedatangan-Nya disebut ajaib karena Dia satu-satunya yang dilahirkan oleh seorang perawan (QS 21:91; 66:12), juga memiliki Kebesaran  (QS 3:45; 4:171) dan disebut “Kalimat-Nya dan roh dari pada-Nya”.

Isa Al-Masih “Kurban” yang Besar

Dengan demikian Isa Al-Masih adalah satu-satunya yang dapat menjadi kurban yang sebenarnya. Mengapa? Karena Dia suci, datang ke dunia dengan cara ajaib, dan dikirim Allah.
Seperti halnya kurban yang harus terlebih dahulu hidup lama sebelum siap dikurbankan, demikian juga Isa Al-Masih. Ia hidup cukup lama sebelum mengurbankan diri-Nya sebagai tebusan. Kematian-Nya di kayu salib telah membuat darah-Nya tertumpah. Dia adalah lambang tebusan Allah seperti yang dikatakan oleh Nabi Yahya, anak Zakaria: “Ini adalah Anak Domba Allah, yang akan dikurbankan untuk menebus dosa-dosa dunia.

Kematian-Nya telah memberikan hidup kepada manusia.  Ia membangkitkan orang dari kematian sebelum Dia sendiri mati. Dia, yang tidak berdosa telah menyerahkan diri-Nya bagi orang berdosa. Dan menjadi tebusan serta memberi hidup bagi orang berdosa.

Rahasia Berkah Idul Adha!!

Isa Al-Masih bukan hanya satu-satunya yang dapat menjadi kurban, tetapi Dia adalah “kurban besar” itu karena menggambarkan semua sifat kurban itu.

Dengan demikian kita dapat mengerti dalam pengertian yang lebih luas arti rahasia dari ayat “Kami tebusi anaknya itu dengan sembelihan yang besar (seekor domba)” (QS 37:107). Mengapa dia “besar?” Karena pengurbanan besarnya mencakup seluruh umat manusia.

Kesimpulan

  • Kematian domba jantan itu telah menebus dan memberikan hidup bagi anak lelaki Nabi Ibrahim
    Tujuan berkurban karena percaya kepada Allah, pada apa yang telah dilakukan-Nya, memohon pengampunan dan penebusan-Nya.Kurban yang dapat diterima Allah adalah kurban seorang manusia yang suci dan tanpa dosa.Isa Al-Masih satu-satunya yang dapat menjadi kurban 'kurban besar'. Karena Dia suci, datang ke dunia dengan cara ajaib, dikirim Allah dan kematian-Nya memberikan hidup kepada manusia sebagai tebusannya. Jelas, Isa Al-Masih mengorbankan diri-Nya bagi seluruh manusia termasuk Saudara.  Hari ini, dengan menerima Isa Al-Masih sebagai Juruselamat, Saudara dapat menikmati hidup yang kekal. Kiranya Saudara mendoakan doa keselamatan dalam “Tindakan Ke-Enam” pada seksi tentang Jalan Keselamatan di situs ini.


Kartojy Bela
Memahami Makna Idul Adha
Cetak
E-mail

Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )   
 Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !

Kartojy Bela

Jumat, 15 Juni 2012


 
Rencana Judul Draf Skripsi

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN ANTARA 
PERUSAHAAN TAMBANG 
DENGAN 
MASYARAKAT PEMILIK TANAH
(Suatu Studi Di Konawe Utara)




OLEH
MUHAMMAD YUNUS
2008 30 101
KEKHUSUSAN; HUKUM PERDATA
PROGRAM STUDI; ILMU-ILMU HUKUM
FAKULTAS; HUKUM
UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2012





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................     i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING  ..............................................       ii
DAFTAR ISI  .....................................................................................................    iii
BAB  I      :    PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah  .........................................................    1
B.       Rumusan Masalah  ...................................................................   6
C.       Tujuan Penelitian  ....................................................................    7
D.       Kegunaan Penelitian  ...............................................................    7
BAB  II     :    TINJAUAN PUSTAKA
A.       Pengertian Perjanjian dan Kontrak ..........................................    8
B.       Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan 
       Saat Lahirnya Perjanjian ..........................................................    9
C.       Pelaksanaan Perjanjian dan Pembatalan Perjanjian ...................   10
D.       Pengertian Pertambangan .........................................................   11
E.        Dasar Hukum Penggaturan Pengelolaan
Pertambangan  .........................................................................   20
BAB  III   :    METODE PENELITIAN
A.       Jenis Penelitian  .......................................................................    41
B.       Populasi dan Sampel  ...............................................................   41
C.       Teknik Pengumpulan Data  .....................................................     41
D.       Jenis dan Sumber data  ............................................................   42
E.        Teknik Analisis data  ...............................................................    43

DAFTAR KEPUSTAKAAN

BAB    I
PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, telah kita ketahui bahwa sektor pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara cukup potensial dan menjadi perhatian investor Nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan. Sulawesi Tenggara memiliki kandungan tambang yang sangat potensial dan telah banyak perusahaan yang telah melakukan eksplorasi utamanya kabupaten Buton, Konawe, Konawe Utara, dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara. Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Tenggara memilki potensi pertambangan yang dapat diandalkan, dan itu sudah mulai keliatan pemanfaatannya.
Herry Asiku Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Sulawesi Tenggara mengharapkan para pemegang Kuasa Pertambangan (KP) sebaiknya tidak terlalu lama melakukan eksplorasi yang sampai bertahun tahun lamanya dan disarankan tahap eksplorasi cukup dalam 1 sampai 3 tahun lamanya dan setelah itu telah dapat melakukan eksploitasi. Kadin Sulawesi Tenggara juga mengharapkan perusahaan yang akan melakukan eksploitasi dapat bermitra dengan pengusaha lokal Sultra dan hal ini dimaksudkan agar terjadi proses alih teknologi di sektor pertambangan. Kehadiran investasi di suatu daerah juga diharapkan akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Karena lahan tambang yang ada tidak semua adalah milik negara sebagian besar milik masyarakat. Dimana bahan tambang merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara dan Nikel. Pasal 33 yaitu:
“Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya”.

Saban hujan, material tanah dari atas bukit yang digalih oleh excavator perusahaan tambang, jatuh bebas ke tengah perkampungan yang dihuni 335 jiwa, sebagian terus ke laut. Perusahaan tambang tidak membuat dranase agar erosi tersalur baik tanpa harus merusak lingkungan. Berapa bulan yang lalu terjadi longsor, menimbun sebuah rumah. Beruntung, tidak ada yang jatuh korban jiwa. Segera setelah bantuan perbaikan rumah yang diberikan perusahaan, peristiwa itu hanya disebut bencana alam, dan pemilik perusahaan tambang dipuji memiliki perhatian yang tinggi.
Tidak ada yang mempersoalkan benching system atau penambangan menggunakan metode terasering, agar longsor tidak mudah terjadi dan tidak ada yang ribut soal pentingnya safety bump atau semacam dueker pada sisi kiri-kana jalan tambang, sehingga bila ada kendaraan lepas kendali tidak lantas meluncur bebas ke pemukiman penduduk.
Mandiodo, Tapuemea, Tapunggaeya, Tapunggaeya lama dan Tapunopaka, keempatnya adalah perkampungan nelayan di kaki bukit, barisan pegunungan yang indah di tepi pantai. Di sela-sela kepitan bukit dan laut itulah masayarakat nelayan Molawe membangun perkampungan.
Tapuemea dan Tapunggaeya merupakan dua Desa pemekaran Tapunggaeya Lama, menyusul transmigrasi 19 Tahun lalu. “Tapunggaeya Lama hanya bisa dicapai lewat laut,”  sebagaiamana dalam sejarah pemekaran daerah Konut bahwa wkatu itu Kecamatan Molawe belum dimekarkaan dari Kecamatan Lasolo, oleh pemerintah, dari Ibu Kota Kecamatan dibuatkan jalan raya menyusuri pantai, naik turun bukit, menghubungkan tiga Desa yang terisolir, seperti; Mandiodo, Tapuemea, dan Tapunggaeya Baru.
Setelah jalan tembus, pemerintah membangun Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) 11 Tapunggaeya dan Seklah Dasar (SD) Andongaunaasi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 Lasolo, dan sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), agar anak nelayan terisolir itu bisa mengenyam pendidikan. Semua sekolah itu kini dikepung perusahaan tambang bahkan sampai menggaruk di halam sekolah. Molawe benar-benar sarang Nikel. Perusahaan tambang datang sekitar Tahun 2009. PT. Sriwijaya membangun dermaga di tengah perkampungan Tapuemea yang dihuni 92 kepala keluarga (KK).
Perusahaan tambang selalu melewati atau menumpang jalan masyarakat. Lalu lintas alat berat berbaur bersama lalu lintas masyarakat yang keluar masuk. “rawan bahaya, tapi tidak ada jalan lain. Kalau ketemu alat berat, lebih baik kita yang mengalah, berhenti sampai dia berlalu. Harusnya mereka bangun jalan sendiri, jangan menumpang jalan yang telah ada sebelum mereka datang.
Untuk keluar ke jalan utama ibu kota kecamatan, mereka harus melewati sembilan perusahaan tambang. Yaitu PT. Sriwijaya, PT. Antam, PT. Cinta Jaya, PT. Bumi Konawe Minerina (BKM), PT. Buena Persada Mining (BPM), PT. Ana Konawe, PT. Munghni Energi Bumi, PT. Harfah Indotec, PT. Sangia. Bisa dibayangkan begitu sibuknya lalu lintas.
Berdasarkan informasi dari bapak Nurhady yang bekerja sebagai wartawan di Kendari Ekspres yang bertugas di Konawe Utara ada dua perusahaan diantaranya belum berproduksi. PT. Sangia belum melakukan pengolahan, dan PT. Antam menghentikan aktivitasnya karena masalah tumpang tindih lahan, izin yang di keluarkan Bupati Konut untuk sebuah perusaan, menindih separuh lahan PT. Antam. Masalah ini sedang berproses di meja pengadilan.
Ore Nikel berhamburan di tengah jalan. Pada musim panas, jalan berselimut debu. Giliran hujan, jalanan menjadi bubur lumpur. Di  musim hujan, Tapuemea dan Tapunggaeya kembali terisolir, tidak bisa kemana-mana. Jangankan kendaraan, orang saja harus jatuh bangun naik turun bukit yang licin berlumpur. Sebenarnya, penambangan yang seronok memantik banyak keluh kesah menggemelatukkan geraham. Namun hanya bisa disimpan dalam hati.
Diantara Desa bertetangga, Warga Tapunopaka masih lebih baik nasibnya dibanding Tapunggaeya, Tapuemea dan Mandiodo. Di Tapunopaka berdiri site (lokasi) PT. Antam yang dikelolah berdasarkan good mining practice (praktek pertambangan yang baik).
PT. Bumi Konawe Abadi (BKA) di beri label “Bandel” oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Konawe Utara. PT. Bumi Konawe Abadi (BKA) adalah sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Konawe Utara.
Dari beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan ternyata bahwa PT. BKA tidak kooperatif. Karena perusahaan tambang yang beroperasi sering melanggar kesepakatan yang dibuat dengan DPRD mengenai penanganan abrasi yang terjadi di daerah itu. Apa yang dilakukan perusahaan kemudian justru melakukan reklamasi di pantai. Perilaku itu dianggap memperparah dan akan menyebabkan terjadinya abrasi yang bertambah besar, dikarenakan perusahaan telah memperpanjang pelabuhannya. Akibat dari abrasi itu saat ini sejumlah Desa yakni Desa Kokapi, Desa Motui, Desa Puuwonggia dan Desa Lambuluio,terancam musnah. Bahkan, beberapa sekolah yaitu Sekolah Dasar (SD) Kokapi dan Madrasah Tsanawia (MTs) Kokapi ikut terancam. Karena (PT. BKA, red) tidak melakukan sesuai kesepakatan. alasannya karena permintaan nelayan, bahwa jangan sampai mengganggu jaring mereka.
Alasan tersebut, tidak dapat di terima dan dianggap mengada-ada karena adanya kepentingan kepentingan beberapa orang lalu mengancam nyawa dan kepentingan umum. Jumlah warga yang benar-benar nelayan di sana, kalau kita hitung, paling hanya lima orang. Sehingga tidak berjalan jika perusahaan tidak mematuhi kesepakatan. Apalagi ini sudah mengancam orang banyak. Komisi C DPRD Konut juga menyesalkan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp 300 juta dari PT. BKA, sampai saat ini belum di dibayarkan. “Padahal, pembayaran ini mereka telah janjikan sebelumnya”. Hal ini, lanjut dia, bertolak belakang dengan pengakuan pihak perusahaan yang mengklaim telah menyalurkan dana CSR tersebut. Sedianya, dana CSR diperuntukkan untuk bantuan sumur gali di sembilan Desa, kompensasi kebisingan Rp 50 juta, bantuan bagi orang tua jompo, Imam Mesjid dan janda-janda terlantar Rp 25 ribu per bula.
Berdasarkan latar belakang di atas, oleh penulis hendak mengkaji melalui penelitian dengan memilih judul Wanprestasi Dalam Perjanjian Antara Perusahaan Tambang Dengan Masyarakat Pemilik Tanah (Suatu Studi Di Konawe Utara).

B.            Rumusan Masalah      
1.        Faktor-faktor apakah yang mnyebabkan wanprestasi dalam perjanjian yang disepakati ke dua belah pihak tidak dilaksanakan?
2.        Akibat-akibat apakah yang timbul jika perjanjian antara pengusaha tambang dengan masyarakat tidak sesuai kesepakatan para pihak?

C.            Tujuan Penelitian         
Tujuan Hasil dari kegiatan ini akan menunjuk dua (2) hal sebagai tujuan diadakannya penelitian, sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui dan memahami Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dalam perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak tidak dilaksanakan?
2.        Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum yang timbul jika perjanjian antara pengusaha tambang dengan masyarakat tidak sesuai kesepakatan para pihak?

D.           Kegunaan Penelitian   
1.        Sebagai bahan pengetahuan hukum khususnya mengenai Eksistensi Hukum Perjanjian dalam penguatan hak keperdataan atas tanah di bidang pertambangan?
2.        Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang perjanjian-perjanjian dalam pertambangan?
3.        Memberikan masukan kepada instansi terkait dan pihak tambang mengenai penambangan nikel beserta dampaknya?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.            Pengertian Perjanjian
1.        Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada Pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah :
“suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian”
Prof. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Prof. Van Dune berarti hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan Prof. RM Sudikno Mertokusumo (Jenie, 2007) menyatakan bahwa perbuatan hukum terjadi karena kerjasama dua orang atau lebih. Di dalam kerjasama itu, tujuan para pihak dapat sama dapat juga berlainan tetapi saling mengisi.
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.

2.        Macam–Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut;
1.         Perjanjian dengan cuma-cuma dan Perjanjian Dengan Beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b.         Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c.         Perjanjian Konsensuil, Formal Dan, Riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
d.         Perjanjian Bernama, Tidak Bernama Dan, Campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
3.    Jenis-Jenis Kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.

B.            Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Saat lahirnya Perjanjian
1.        Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
a.     Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
b.    Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUHPerdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
c.     Mengenai Suatu Hal Tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
d.    Suatu Sebab Yang Halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

2.        Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a.         Kesempatan penarikan kembali penawaran;
b.         Penentuan resiko;
c.         Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d.         Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

C.            Pelaksanaan Perjanjian dan Pembatalan Perjanjian
1.        Pelaksanaan Perjanjian
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah Pasal 1338 ayat (3) yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etikat baik saja, dan asas etikat baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
1.         Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
2.         Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3.         Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
a.         Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
b.         Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
2.    Pembatalan Perjanjian Yang Menimbulkan Kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
1.         Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.         Terlambat memenuhi prestasi, dan
3.         Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
1.         Pemenuhan perikatan
2.         Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3.         Ganti rugi
4.         Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
5.         Pembatalan dengan ganti rugi

D.           Perngertian Pertambangan
1.        Pertambangan
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi :
a.          Penyelidikan Umum (prospecting)
b.          Eksplorasi : Eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
c.          Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
d.          Persiapan produksi (development, construction)
e.          Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan,
Penimbunan)
f.           Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
g.          Pengolahan (mineral dressing)
h.          Pemurnian / metalurgi ekstraksi
i.            Pemasaran
j.            Corporate Social Responsibility (CSR)
k.          Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktik hal-hal yang berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan yang baik dan benar (good mining practice)
Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Bahan Golongan A merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hayat hidup orang banyak, contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer, batu kapur dan asbes.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Eksplorasi, disebut juga penjelajahan atau pencarian, adalah tindakan mencari atau melakukan perjalanan dengan tujuan menemukan sesuatu; misalnya daerah tak dikenal, termasuk antariksa (penjelajahan angkasa), minyak bumi (eksplorasi minyak bumi), gas alam, batubara, mineral, gua, air, ataupun informasi.
Kegiatan pertambangan membawa dampak positif dan negatif dalam perkembangannya seiring dengan bertambahnya waktu. Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah :
a.         Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi  nasional;
b.         Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD);
c.         Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
d.         Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
e.         Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
f.           Meningkatkan kualitas sdm masyarakat lingkar tambang;
g.         Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari sektor pertambangan tidak dapat diingkari pula memiliki daya rusak. Mulai dari pertambangan emas Freeport di Papua, Rio Tinto di Kalimantan Timur, barisan Tropikal Mining/laverton gold di Sumatra Selatan, Inco di Sulawesi Selatan hingga PTA Arumbai di Nusa Tenggara, dan banyak lainnya. Kerusakan dari resiko pertambangan tersebut antara lain:
a.         Penggusuran lahan pertanian dan tempat tinggal serta lahan peruntukkan lainnya (makam, kawasan keramat, mata air , hutan dan lainnya) karena diubah menjadi kawasan pertambangan.
b.         Hilangnya mata pencaharian warga setempat karena wilayah kelolanya berubah menjadi kawasan pertambangan ataupun menjadi wilayah dampak.
c.         Dampak pencemaran limbah-limbah pertambangan yang melibatkan sejumlah bahan beracun berbahaya (b3) yang jumlahnya sangat besar.
d.         Terganggu hingga rusaknya sumber air, tanah dan keanekaragaman hayati.
e.         Dampak erosi sosial budaya akibat masuknya modal dan para pendatang terhadap sosial budaya masyarakat lokal.
f.           Lubang-lubang raksasa dan limbah tambang yang dibiarkan terbuka secara permanen saat pertambangan usai.
Bersandarkan pada dampak negatif ini, khususnya terhadap  penggusuran lahan dan hilangnya mata pencaharian warga setempat maka dalam Pasal 135 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menegaskan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

2.        Pertambangan Mineral
Menurut Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), usaha pertambangan dikelompokkan atas:
a.     Pertambangan mineral; dan
b.    Pertambangan batubara.
Pertambangan mineral sendiri digolongkan atas:
a.     Pertambangan mineral radioaktif;
b.    Pertambangan mineral logam;
c.     Pertambangan mineral bukan logam; dan
d.    Pertambangan batuan.
Sebagaimana terurai pada Pasal 50 UU Minerba, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah.
a.         Pertambangan Mineral Logam
Mengenai pertambangan mineral logam, WIUP diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam, dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda, setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Sementara, untuk pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 hektare.
b.         Pertambangan Mineral Bukan Logam
Untuk pertambangan mineral bukan logam, WIUP diberikan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin. Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 hektare dan paling banyak 25.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda, setelah mempertimbangkan pendapat pemegang IUP pertama. Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 hektare.

3.        Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
(IUPK) Adalah merupakan kewenangan Pemerintah, dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Yang dimaksud dengan IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
a.     IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b.    IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas. Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwa setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. IUP diberikan kepada:
1.         Badan usaha, yang dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
2.         Koperasi; dan
3.         Perseorangan, yang dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.
Pasal 83 UU Minerba mengatur persyaratan luas wilayah dan jangka waktu IUPK sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:
a.     Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b.   Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c.     Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
d.    Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e.     Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.
f.     Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
g.    Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Dalam pelaksanaannya, IUPK tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan selain yang tertera dalam pemberian IUPK. Dalam hal proses Eksplorasi, jika pemegang IUP ingin menjual mineral logam atau batubara, maka pemegang IUP Eksplorasi wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan yang diberikan oleh Menteri.

4.        Persyaratan Untuk Memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi
IUP operasi produksi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dalam rangka pertambangan. IUP tipe ini diberikan kepada badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pasal 46 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
Pasal 23 PP 23/2010 mengatur bahwa persyaratan untuk memperoleh IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
1.        Administratif;
2.        Teknis;
3.        Lingkungan; dan
4.        Finansial
1.1. Persyaratan administratif untuk badan usaha meliputi:
a.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:
1.    Surat permohonan;
2.    Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
3.    Surat keterangan domisili.
b.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dari batuan:
1.    Surat permohonan;
2.    Profil badan usaha;
3.    Akta pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4.    Nomor pokok wajib pajak;
5.    Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6.    Surat keterangan domisili.
1.2. Persyaratan administratif untuk koperasi meliputi:
a.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:
1.    Surat permohonan;
2.    Susunan pengurus; dan
3.    Surat keterangan domisili.
b.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1.    Surat permohonan;
2.    Profil koperasi;
3.    Akta pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4.    Nomor pokok wajib pajak;
5.    Pengurus; dan
6.    Surat keterangan domisili.
1.3. Persyaratan administratif untuk orang perseorangan, meliputi:
a.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:
1.    Surat permohonan; dan
2.    Surat keterangan domisili.
b.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1.    Surat permohonan;
2.    Kartu tanda penduduk;
3.    Nomor pokok wajib pajak; dan
4.    Surat keterangan domisili.
1.4. Persyaratan administratif untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a.         Untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:
1.        Surat permohonan;
2.        Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3.        Surat keterangan
b.    Untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dari batuan:
1.        Surat permohonan;
2.        Profil perusahaan;
3.        Akta pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan;
4.        Pokok wajib pajak;
5.        Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6.        Surat keterangan domisili.
2.1. Persyaratan teknis untuk IUP Operasi Produksi, meliputi:
a.    Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional;
b.    Laporan lengkap eksplorasi;
c.    Laporan studi kelayakan;
d.    Rencana reklamasi dan pascatambang;
e.    Rencana kerja dan anggaran biaya;
f.    Rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan
g.    Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.
3.1.             Persyaratan lingkungan untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
a.    Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
b.    Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.1. Persyaratan finansial untuk IUP Operasi Produksi, meliputi:
a.    Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
c.    Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
d.    Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang telah berakhir.
5.        Persyaratan untuk Memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi
IUP eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”), IUP eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP.
Pasal 23 PP 23/2010 mengatur bahwa persyaratan IUP Eksplorasi meliputi persyaratan:
1.        Administratif;
2.        Teknis;
3.        Lingkungan; dan
4.        Finansial
1.1.             Persyaratan administratif untuk badan usaha meliputi:
a.    Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.    Surat permohonan;
2.    Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
3.    Surat keterangan domisili.
b.    Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dari batuan:
1.    Surat permohonan;
2.    Profil badan usaha;
3.    Akta pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4.    Nomor pokok wajib pajak;
5.    Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6.    Surat keterangan domisili.
1.2. Persyaratan administratif untuk koperasi meliputi:
a.    Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.        Surat permohonan;
2.        Susunan pengurus; dan
3.        Surat keterangan domisili.
b.        Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan:
1.        Surat permohonan;
2.        Profil koperasi;
3.        Akta pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4.        Nomor pokok wajib pajak;
5.        Susunan pengurus; dan
6.        Surat keterangan domisili.
1.3.   Persyaratan administratif untuk orang perseorangan, meliputi:
a.         Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.        Surat permohonan; dan
2.        Surat keterangan domisili.
b.        Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan:
1.        Surat permohonan;
2.        Kartu tanda penduduk;
3.        Nomor pokok wajib pajak; dan
4.        Surat keterangan domisili.
1.4.   Persyaratan administratif untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a.         Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.        Surat permohonan;
2.        Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3.        Surat keterangan.
b.    Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dari batuan:
1.      Surat permohonan;
2.        Profil perusahaan;
3.        Akta pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan;
4.        Nomor pokok wajib pajak;
5.        Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6.        Surat keterangan domisili.
2.1. Persyaratan teknis untuk IUP Eksplorasi, meliputi:
a.         Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
b.        Peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional,
3.1.   Lingkungan untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4.1.   Persyaratan finansial untuk IUP Eksplorasi, meliputi:
a.    Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan
b.    Bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah.

6.        Prosedur Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi adalah Izin yang diberikan untuk kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dalam rangka pertambangan. IUP tipe ini diberikan kepada badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pasal 46 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. Jaminan dari pemerintah ini hanya akan berlaku dalam hal pemegang IUP Eksplorasi memenuhi seluruh kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam IUP Eksplorasi. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
1.         Jangka Waktu IUP Operasi Produksi
Dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing selama 10 tahun, untuk pertambangan mineral logam. Sedangkan untuk pertambangan mineral bukan logam, dapat diberikan untuk jangka waktu IUP selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing selama 5 tahun. Untuk pertambangan batuan, diberikan jangka waktu paling lama 5 tahun dan paling lama 20 tahun untuk pertambangan batubara.
2.         Pemberian IUP Operasi Produksi
Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) menyatakan bahwa dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b.    IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan atau
c.    IUP Operasi Produksi.
IUP Operasi Produksi khusus diberikan oleh:
a.    Menteri apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas provinsi dan negara;
b. Gubernur apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas kabupaten/kota; atau
c.    Bupati/walikota apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
IUP Operasi Produksi khusus diberikan oleh:
a.    Menteri, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari provinsi lain dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas provinsi;
b.    Gubernur, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari beberapa kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas kabupaten/kota; atau
c.    Bupati/walikota, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) kabupaten/kota dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1 (satu) kabupaten/kota.

E.            Dasar Hukum Penggaturan Pengelolaan Tamabang Nikel Di Konawe Selatan
Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam banyak diwarnai oleh pradigma yang menilai sumberdaya alam sebagai sumber pendapatan ketimbang modal, pradigma tersebut telah berakar jauh sebelum terjadinya revolusi industri sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju kepada keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi. Implikasi dari pandangan dunia (world view) yang demikian secara sadar atau tidak telah membentuk (mode of production) seluruh aktifitas ekonomi, termasuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan, kehutanan dan perkebunan.
Sejauh yang diketahui, eksploitasi sumberdaya alam masih tetap merupakan pencanaran dari pradigma tersebut di atas. Ekploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan hidup tetap merupakan fenomena umum. Bahkan dalam batas-batas tertentu keberadaan industri pengelolaan sumber daya alam dalam suatu wilayah, bukan hanya menempatkan diri sebagai identitas asing (alien entity) tetapi Juga banyak kasus merupakan sumber prahara sosial.
Landasan konstitusional dan pengaturan pengelolaan sumber daya alam pertambangan atau bahan galian ialah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang. Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambagan. Dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan:
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Substansi dari ketentuan diatas adalah:
1.    Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk benda-benda yang terdapat di dalam bumi dan air dikuasai oleh negara,
2.    Tujuan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua aspek kaidah tersebut diatas, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik. Hak menguasai negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objectives). Terlalu menekankan, apalagi semata-mata melihat Pasal 33 sebagai dasar bagi Negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidaklah mencukupi, bahkan dapat menyesatkan. Karena unsur utama hak menguasai oleh negara adalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Dalam kerangka pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa dalam penguasaan itu negara hanya melakukan bestuursdaad dan tidak melakukan eigensdaad. Apabila terjadi pergeseran dari bestuursdaad menjadi eigensdaad maka tidak akan ada jaminan bagi tujuan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pemahaman ini betapa esensialnya untuk selalu mengukur pelaksanaan atau penyelenggaraan hak menguasai negara dengan tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengingat sumber daya alam pertambangan yang unrenewable resources, maka pengusahaannya harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian, agar dapat memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Sebab apa yang dinikmati oleh generasi sekarang dengan pemanfaatan sumberdaya alam, pada hakekatnya pinjaman dari generasi yang akan datang.
Oleh karena itu salah satu upaya untuk mewujudkan makna slogan tersebut cukup arif dan bijaksana adalah melalui aspek pengaturan hukum. Perlu dipahami bahwa pembentukan aturan hukum yang baru tentu saja tidak selalu keliru, karena hukumpun menurut Roscoe Pound, berfungsi sebagai a tool of social engineering. Sebagai instrument pembaharuan masyarakat (agent of change), hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan sosial agar hukum dapat dipatuhi oleh masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa upaya penegakakan (paksaan) melainkan sebagai suatu kebutuhan.
Berkaitan dengan fungsi hukum tersebut, pembentuk undang-undang (kekuasaan legislative), melalui penafsiran atas makna Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, telah meletakkan landasan yuridis, keadilan antar generasi (intergeneration equity) antara lain mealui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 huruf (c) “sasaran pengelolaan lingkungan hidup terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Untuk mewujudkan tujuan hak penguasaan Negara sumber daya alam pertambangan hanya dapat dicapai bilamana ada upaya untuk memanfaatkan melalui investasi pertambangan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar pendayagunaan sumber daya alam yaitu keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan (sustainability).
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan dibutuhkan pendekatan manajemen ruang yang ditangani sejarah holistik integrated dengan memperhatikan empat aspek pokok yaitu, aspek pertumbuhan (growth), aspek pemerataan (equity), aspek lingkungan (environment), dan aspek konservasi (conservation). Pendekatan yang demikian memerlukan kesadaran bahwa setiap kegiatan pertambangan akan menghasilkan dampak yang bermanfaat sekaligus dampak merugikan bagi umat manusia dan umumnya dan masyarakat lokal khususnya jika tidak dikelola secara profesional dan penuh tanggungjawab.
Dari aspek hukum lahirlah beberapa ketentuan yang mengatur lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan aktivitas atau pengusahaan pertambangan sebagai berikut;
1.        TAP MPR NOMOR II/MPR/1993 Tentang GBHN, bagian F Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Keenam, khusunya mengenai pertambangan disebutkan;
“pembangunan pertambangan diarahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tambang secara hemat dan optimal bagi pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup serta ditujukan untuk menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri bagi keperluan energi dan berbagai keperluan masyarakat. Serta untuk meningkatkan eksport, meningkatkan penerimaan negara dan pendapatan daerah serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha”.

Kemudian pada bagian lain angka 18 tentang lingkungan hidup ditegaskan;
“Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yanng berkelaanjutan. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup”.

2.        Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral, Batu Bara, Emas, dan Nikel menyebutkan:
“aspek perlindungan lingkungan ini dipertegas dengan perlunya Amdal, reklamasi serta pengelolaan pasca tambang termasuk dana jaminannya, kemudian bukan hanya pemegang Ijin Usaha Pertambangan yang berkewajiban melaksanakan pengembangan wilayah dan masyarakat, pemerintah daerah pun wajib menyusun program pengembangan wilayah dan masyarakat sekitar tambang”.

3.        Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Bab VI Pasal 18 ayat (1) menyebutkan;
“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan”.

4.    Mijnpolitiereglement 1930, tentang Peraturan Keselamatan Kerja Pertambangan (Stb.1930 No. 41) dalam Pasal 228 dan Pasal 354 mengatur tentang lingkungan hidup, lingkungan kerja, kesehatan kerja dan kebersihan lingkungan perusahaan pertambangan.
5.    Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak lingkungan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan;
“Usaha atau kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup meliputi:

a.     Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b.    Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c.     Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, kerusakan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d.    Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya;
e.     Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan;
f.     Konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya;
g.    Instroduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik;
h.    Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
i.     Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk;
j.     Mempengaruhi lingkungan;
k.    Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan mempengaruhi pertahanan negara”
6.    Sejumlah Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi serta Peraturan lainnya mengenai Kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan, Kontraktor terhadap Penanggulangan, pencegahan, pelestarian dan gangguan pencemaran dalam Pengelolaan lingkungan Hidup sebagai akibat pertambangan bahan galian, Ketentuan-ketentuan yanng dimaksud antara lain;
a.     Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 103. K/008/M.PE/1994 tanggal 19 januari 1994 tentang Pengawasan Atas Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan Dalam Bidang Pertambangan dan Energi
b.    Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 89.K/008/M.PE/1995 tanggal 2 Mei 1995 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan untuk Kegiatan Pertambangan Umum, Minyak dan Gas Bumi serta Listrik dan Pengembangan Energi;
c.     Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Pengrusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum.
d.    Keputusan Menteri Pertambangan dan energi Nomor 1256. K/008/M.PE/1996 tanggal 9 Agustus tentang Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk Kegiatan Pertabangan dan Energi.
e.     Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 336.K/271/DDJP/1996 tentang Jaminan Reklamsi. Melihat semua kasus yang ada di beberapa daerah di Indonesia, ternyata polemik tentang kuasa pertambangan telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 2 huruf i. kuasa pertambangan adalah : wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan; Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor. 74 Tahun 2001 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan pada Pasal 1 ayat (1);
“Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan”,

Pasal 1 ayat (2) mengatakan bahwa kuasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh :
1.    Bupati/Walikota apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 (empat) mil laut;
2.    Gubernur apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Kabupaten/Kota dan tidak dilakukan kerja sama antar Kabupaten/Kota maupun antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut;
3.    Menteri apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Propinsi dan tidak dilakukan kerja sama antar Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 (dua belas) mil laut."
Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor. 75 Tahun 2001 Pasal 7 ayat (2) Kuasa Pertambangan dapat berupa:
1.    Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum;
2.    Kuasa Pertambangan Eksplorasi;
3.    Kuasa Pertambangan Eksploitasi;
4.    Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian;
5.    Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan.
Bagi propinsi diluar Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam, dalam menerbitkan KP menggunakan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Peraturan Pemerintah RI Nomor. 74 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor. 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Dibidang
Pertambangan Umum dan peraturan perundangan lain yang berhubungan dengan pemberian kuasa pertambangan sedangkan bagi daerah otonomi khusus ada penambahan dasar hukum pemberian kuasa pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 38 Tahun 2007, Tentang: Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota (kita terfokus pada Propinsi Sulawesi Tenggara) sehingga jelaslah dasar hukum pemberian kuasa pertambangan bagi daerah otonomi. Sedangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam memberikan ijin kuasa pertambangan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 38 Tahun 2007, Tentang : Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota dimana pada Bab VIII Pasal 19 ayat (1) : “Khusus untuk Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebagaimana tertuang dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi kewenangan Provinsi. Dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor : 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus maka Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) kepada Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan setelah mendapat Rekomendasi dari Kabupaten/Kota. Proses ini merupakan solusi yang baik sehingga konflik yang berkepanjangan dapat teratasi dan diharapkan semua bupati/walikota khususnya dinas pertambangan di Propinsi Sulawesi Tenggara segera mempelajari serta memahami pemberian ijin untuk perusahaan pertambangan dan pada saat sebuah perusahaan yang ingin membuka investasi dibidang pertambangan perlu diberikan penjelasan tentang proses perijinan sehingga mana yang menjadi kewenangan kabupaten dan kewenangan propinsi sehingga tidak terjadi ketidakpastian hukum karena kepastian hukum merupakan hal yang sangat penting khususnya menjadi jaminan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Sulawesi Tenggara.


BAB III
METODE PENELITIAN
A.            Jenis Penelitian 
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Utara Sulawesi tenggara dengan pertimbangan bahan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pihak tambang yang tidak berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang maupun oleh Pemerintah Daerah.

B.            Populasi dan Sampel 
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini seperti Perusahaan Tambang, Masyarakat, dan Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.
Sampel dalam penelitian ini dipilih secara refresentatif yaitu sampel yang dianggap layak untuk mewakili populasi. Sampel dalam penelitian ini terdiri atas orang dengan rincian 2 orang Perusahaan Tambang, 5 orang Masyarakat, 2 orang aparat Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.

C.            Jenis dan Sumber Data 
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah :
4.        Data primer dimana data yang diperoleh langsung dalam penelitian lapangan
5.        Data sekunder dimana data yang tidak diperoleh langsung dalam ini melalui kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat dokumen-dokumen bahan hukum atau tulisan-tulisan ahli hukum serta peraturan perundang-undangan yaitu terkait dengan penulis topik kajian penulis.

D.           Teknik Pengumpulan Data 
Terkait pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data adalah :
             1.              Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu pengumpulan data dengan cara menelah beberapa literatur serta bacaan-bacaan lain dan bahan-bahan hukum yang masih relevan serta berhubungan dengan penelitian ini.
             2.              Field Research (Penelitian Lapangan), yaitu pengumpulan datadengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang akurat. Adapun metode yang digunakan dalam Field Research tersebut adalah :
a.         Observation (Pengamatan), yaitu suatu metode pengamatan secara langsung terhadap perusahaan Tambang, Masyarakat, dan Instansi terkait di Konawe Utara.
b.         Interview (Wawancara), yaitu suatu metode interaksi secara langsung terhadap perusahaan Tambang, Masyarakat, dan Instansi terkait di Konawe Utara.


4.             Analisis Data 
Data yang berhasil dikumpul secara sistematis selanjutnya dianalisa secara dieskritif, kualitatif dengan memberikan gambaran mengenai obyek penelitian dengan menjelaskan dan menerangkan mengenai data yang diperoleh dari studi lapangan dan studi kepustakaan penulis.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Katili, J.A. 2003, Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan nasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
John W. Head, 2007 Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Edisi Bahasa Indonesia dan Inggris, ELIPS, Jakarta.
Ihza Yusron Mahendra, Impor Energi, Beban Ekonomi Asia pada Abad Mendatang, Indonesia Bukanlah Pengecualian, harian Umum Kompas, Jakarta, 2 Juni 2001.
Haryanto, Stefanus Keadilan Antar Generasi dan Hukum Lingkungan Indonesia, Harian Umum Kompas, 11 januari 2001
Madjid, Nurcholish, 2009, Reformasi di Bumi, Tabloid Tekad Nomor 10 Tahun 1, 4-10 Januari.
Soekanto, Soeryono 2001, Fungsi Hukum dan Perubahan, Alumni, Bandung.
Biro Lingkungan dan Teknologi DPE, 2008, Pelaksanaan Analisis Mengenai dampak Lingkungan (AMDAL) Kegiatan Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Departemen Pertambangan dan Energi, 2005, 50 Tahun Pertambangan dan Energi Dalam Pembangunan, Jakarta.
Silalahi, M. Daud, Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup dan Implikasinya pada Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, 2005 (Makalah), Diskusi Panel, FH UNPAD.
Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) 2005, Pendataan Di Bidang Pertambangan,