Minggu, 03 April 2011

LAHIRNYA RAHMAT BAGI SEMESTA RAYA

bulanPurnama tlah terbit di atas kita,
sembunyilah rembulan lain karenanya
Tak pernah ku jumpa walau sekali,
laksana indahmu, wahai kebahagiaan


Hari Senin, 12 Rabiul Awal 1481 tahun yang lalu, kota Makkah bercahaya kilau kemilau, menyambut lahirnya seorang bayi yang empat puluh tahun kemudian meletakkan dasar tatanan dunia baru. Dunia yang terang benderang. Di mana cahaya Tuhan menerangi setiap jengkal semesta raya, laksana bintang gemintang yang berkerlip indah di pekatnya malam. Laksana purnama yang menenggelamkan gelap dalam ranum cahayanya. Laksana mentari yang mengusir malam ke peraduannya.
Kedatangannya bukan tiba-tiba, karena Allah telah merencanakannya jauh sebelum Dia menciptakan seluruh umat manusia. Muhammad adalah manusia pertama yang diciptakan secara maknawi, namun Nabi terakhir yang diutus ke alam duniawi. Pengangkatannya menjadi penyampai wahyu menutup semua risalah kenabian sebelumnya, mengantarkan umat manusia ke puncak tangga penghambaan sejati. Ucapannya adalah wahyu, langkahnya menjadi tarekat, perilakunya cermin keteladanan dan mengikutinya mengantar pada keselamatan.

Muhammad sang kekasih Allah, belaian tangannya menentramkan gundah anak-anak yatim, kemurahan hatinya menyalakan obor kehidupan janda-janda miskin, dan mengajarkan kemuliaan dalam kebersahajaan. Keagungan jiwanya diakui kawan dan lawan. Semesta raya memanjatkan doa, mengucap salam dan memohonkan kasih Allah baginya. Bahkan Sang Pencipta sendiri tak ragu untuk ikut mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi (Muhammad). Wahai Orang-orang yang beriman bershalawat kamu sekalian untuk Nabi dan berikan salam pengormatan untuknya (QS. Al-Ahzab 56)

Muhammad memang manusia suci. Ia juga berasal dari silsilah nasab yang suci. Hisyam ibn Muhammad al-Kalbi meriwayatkan, ayahnya pernah berkata “Aku meneliti silsilah Nabi Muhammad, dan aku dapati 500 orang nenek moyang perempuan Muhamad. Tidak ada satupun terdapat jejak perzinaan dan kejahatan di antara mereka, walaupun perilaku itu sangat wajar di masa jahiliyah.” Sayidina Ali karramallahu wajhah meriwayatkan, Rasulullah SAW. bersabda, “Aku datang dari pernikahan, bukan dari perzinahan. Dari Adam hingga aku, dilahirkan dari seorang ayah dan ibu. Tak satupun perzinaan jahiliyah atau kebodohan yang menyentuhku.”

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Aku telah diutus dari generasi terbaik anak-anak Adam AS. Satu demi satu hingga sampai padaku sekarang ini.” Aisyah RA. meriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa Malaikat Jibril AS. Berkata, “ Aku telah meneliti bumi dari timur ke barat, tak kutemui seorang manusiapun yang lebih baik dari Muhammad SAW, dan tak kutemui seorang anak laki-laki dari ayah manapun yang lebih baik Bani Hasyim.”

Muhammad merupakan prototype terbaik umat manusia. Sungguh beruntung orang-orang yang diberi anugerah oleh Allah SWT menjadi pengikutnya, karena akan menjadi sebaik-baik umat pada episode kehdupan ini. Sungguh mulia orang-orang yang meneladani semua aspek peri kehidupan Nabi, dan menjadikan beliau sebagai pemimpin langkah hidupnya.

Kehadiran Muhammad di muka bumi adalah anugerah bagi semesta alam, yang mengubah butiran-butiran pasir dan debu gurun menjadi laksana mutiara. Jejak langkahnya menyejukkan padang tandus laksana taman surga yang membangkitkan rindu untuk selalu dikunjungi. Pengetahuan yang diajarkannya terus menerus mengalirkan hikmah dan kearifan, laksana Zam-zam yang tak pernah kering sepanjang jaman. Sesuai jaminan dari al-Khalik,

Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya’ ayat 107)

Muhamadlah Sang Pemimpin Sejati. Keberaniannya menggentarkan singa-singa padang pasir, kelembutannya laksana belaian kasih seorang ibu. Di dadanya ada kejujuran dan ketulusan yang diakui kawan dan lawan. Beliau begitu dicintai oleh langit dan bumi, sampai potongan rambut dan air ludahnya yang harum tidak pernah sampai menyentuh bumi karena diperebutkan oleh sahabat-sahabatnya. Begitulah Abu Sufyan menceritakan menjelang Fath Makkah (pembebasan kota Mekah).

Pemimpin manakah yang dalam sakit menjelang wafatnya mengatakan, “Wahai manusia! Barang siapa punggungnya pernah kucambuk, ini punggungku, balaslah! Barang siapa kehormatannya pernah kucela, inilah kehormatanku, balaslah! Dan barang siapa hartanya pernah kuambil, ini hartaku, ambilah! Jangan takut akan permusuhan (akibat penuntutan balas ini), karena itu bukan watakku.” Hari itu, 63 tahun setelah kelahirannya. Semua sahabat tertunduk haru mendengar pemimpin besar yang mereka cintai membuka diri untuk menerima tuntutan balas dari pengikutnya. Sebuah sikap yang menunjukkan pencapaian spiritual dan emosional tertinggi seorang manusia.

Salam bagimu wahai Utusan Allah, beserta rahmat dan berkat Tuhan.

Rindu kami padamu, Ya Rasul...
Rindu tiada terperi...
Berabad jarak darimu, Ya Rasul...
Serasa dikau di sini... 

Laptop Untuk Sang Nabi












Tengah malam. Lima belas hari menjelang malam kelahiran Sang Nabi.

Kang Sodrun masih belum tertidur. Sepulang tahlilan di rumah tetangga sebelah ia sengaja minum segelas besar kopi pahit untuk menjaga kedua matanya agar tetap melek. Begitulah kebiasaannya bila ingin melakukan banyak hal di malam hari.

Kegiatan siang harinya yang selalu dimulai saat subuh sampai menjelang maghrib menjadikan badannya sering kecapekan dan matanya selalu ingin terpejam tiap kali masuk waktu maghrib. Tapi Kang Sodrun tak bisa menurutinya karena selepas maghrib dan isya masih ada tugas rutin yang mesti ia lakukan hingga menjelang pukul sembilan. Bila setelahnya masih ada pekerjaan lain yang mesti diselesaikan, maka kopi pahit lah satu-satunya cara Kang Sodrun menopang matanya agar tak terpejam sebelum tengah malam. Bahkan kalau perlu hingga subuh datang.

Sampai dini hari ini kopi pahit itu benar-benar mampu menopang matanya tetap melek.
Di tangannya tergenggam seikat  lembaran uang berwarna biru tajam. Ia baru saja menghitungnya. Cukup untuk membeli sebuah laptop mini. Hatinya berbisik. Bibirnya tersenyum kecil. Angannya membayang.

Sudah sejak lama memang Kang Sodrun menginginkan membeli sebuah laptop. Baginya barang elektronik yang sudah memasyarakat itu perlu dimiliki untuk menunjang aktifitas menulisnya. Semestinya di rumah seperangkat computer telah ia miliki. Itu ia beli sejak masih sekolah dulu tiga belas tahun yang lalu. Keinginannya memiliki laptop karena computer yang ada dirasa sudah cukup tua. Kinerjanya sudah melambat, monitornya mulai berasa tajam di mata, beberapa hardwarenya sudah bolak-balik diganti dan sudah tak ada lagi di pasaran karena keluaran lama.

Ia juga berharap dengan laptop itu bisa membantu mempermudah pekerjaan Yu Siti, istrinya. Yu Siti yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah itu seringkali bercerita tentang teman-temannya yang sebagian sudah punya laptop dan dengan mudah mengerjakan tugas-tugas mereka di sekolah saat kosong jam mengajar. Apalagi saat ini ia ditunjuk sebagai salah satu guru yang ikut mengampu kelas unggulan. Atasannya sering kali menyindir agar guru yang mengajar kelas unggulan memiliki laptop.

Maka untuk mewujudkan keinginannya itu Kang Sodrun mulai menabung sejak beberapa bulan lalu. Ia tak mau seperti kebanyakan temannya yang lebih suka potong kompas menggunakan uang pinjaman koperasi atau bank untuk memenuhi kebutuhannya. Baginya menabung lebih baik dari pada berhutang, kecuali kalau sudah kepepet. Bagi dirinya menabung memberi pelajaran untuk prihatin dan bersabar dalam memenuhi suatu kebutuhan.

Dua bulan lalu, menjelang lebaran haji,  mestinya uang yang dibutuhkan telah terkumpul. Ia sudah berkeliling survey lapangan untuk mengetahui harga di pasaran dan merek apa yang mau dipilih. Tinggal menentukan kapan ia mau membelinya. Tapi kenyataan berbicara lain. Saat malam takbiran lebaran haji tiba hatinya terbagi menjadi dua, saling berbisik.

“Tegakah kau melewati lebaran haji tahun ini begitu saja tanpa seekor kambing pun yang kau persembahkan pada Tuhanmu?”

“Mengapa tidak? Bukankah berkurban hanya sunnah saja dan dapat dilakukan setiap tahun, sepanjang hidup? Mengapa harus sekarang”

“Betul memang. Tapi ini hari raya kurban dan kau melewatinya dalam keadaan hidup dengan uang di genggaman tangan yang cukup untuk menbeli seekor kambing.”

“Tapi apa harus tahun ini?”

“Lalu kapan? Tahun depan yang umurmu belum tentu sampai besok pagi? Kalaupun umur sampai tahun depan, dapatkah kau pastikan saat itu kau memiliki cukup uang untuk membeli hewan kurban?”

“Tapi uang itu aku kumpulkan untuk membeli laptop.”

“Dengan mengorbankan perintah Tuhan dan Rasulmu? Lihatlah tetangga belakang rumahmu itu. Ia hanya seorang pedagang kecil penjual sayuran. Kau bisa dengan mudah mengira-ngira berapa pendapatannya. Malam ini kau lihat sendiri ia dengan tulus dan penuh kegembiraan menggandeng seekor kambing yang cukup besar untuk diserahkan ke panitia kurban di mushalla, demi keridloan Tuhannya. Tidakkah kau malu pada Tuhanmu? Kepadamu Ia berikan pendapatan yang jauh lebih banyak dan kehidupan yang jauh lebih layak dari tetanggamu itu. Tapi saat Tuhanmu meminta untuk sekali saja dalam setahun berkurban untuk-Nya, kau masih enggan dan lebih memilih menuruti kemauan nafsumu!”

Kang Sodrun tersadar. Malam itu juga, usai shalat maghrib di musholla ia segera meminta istrinya untuk bersiap-siap ikut membeli kambing di tempat langganannya. Ia bawa semua uang tabungannya. Dan tanpa banyak menawar ia dapatkan seekor kambing yang lumayan besar seharga jumlah uang yang ia kumpulkan. Dalam hatinya ia berbisik, “Gusti, aku pilih keridloan-Mu.” Dalam benaknya, bila Allah ridlo apapun akan diberikan pada sang hamba.

Sejak saat itu Kang Sodrun memulai kembali mengumpulkan uang untuk membeli laptop. Ia sangat bersyukur, hingga saat ini uang itu telah terkumpul dan kiranya cukup untuk sebuah laptop mini. Namun malam ini kegelisahan menyuntuki pikirannya.

Lima belas hari lagi adalah malam kelahiran Sang Nabi. Sebagaimana tradisi di kampungnya yang juga selalu ditanamkan oleh orang tua Kang Sodrun, seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap kali malam maulid datang ia dan istrinya selalu berusaha memberikan sedekah berkatan yang dibagi kepada para tetangga dan bagi para pembaca kitab al-barzanji di musholla. Kebiasaan ini ia coba untuk tetap dilestarikan meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.

“Kanjeng Nabi itu makhluk paling istimewa, Drun.” Begitu orang tuanya mengajari. “Gusti Allah tak akan pernah mau menciptakan alam semesta ini kalau tidak ada Kanjeng Nabi. Kehadirannya merupakan nikmat dan rahmat Allah yang terbesar, teragung, dan termulia, bukan saja bagi umat manusia, tapi bagi seisi jagat raya. Istilah qur’annya rahmatan lil ‘alamin. Maka hari kelahirannya paling layak dirayakan, paling layak diagungkan. Sudah semestinya kita sebagai umatnya merayakannya sebagai bagian rasa cinta kepadanya dan rasa syukur kepada Gusti Allah. Salah satu caranya dengan bersedekah di hari kelahirannya.”

Malam ini, saat Kang Sodrun menghitung jumlah tabungannya yang dipersiapkan untuk membeli laptop, ia teringat bahwa setengah bulan lagi malam maulid. Ia butuh sejumlah dana untuk menyambutnya. Ia butuh berbelanja untuk memberikan hadiah bagi para tetangga atas nama Kanjeng Nabi. Dan kini di tangannya telah tergenggam seikat uang. Hatinya menjadi bimbang. Akankah untuk yang kedua kalinya ia undur lagi keinginannya untuk memiliki laptop, demi menghormat Sang Nabi di hari kelahirannya? Atau biarlah maulid tahun ini berlalu begitu saja tanpa hadiah bagi umat Sang Nabi. Toh masih ada cara lain untuk merayakan dan mensyukurinya.

Beberapa lama Kang Sodrun termenung. Ia menimbang. Kegelisahannya justru membangkitkan kembali memorinya pada maulid setahun lalu. Saat itu ia dan istrinya bingung ketika malam maulid makin dekat namun tak ada dana untuk menyambutnya. Sementara keinginan untuk tetap melestarikan ajaran orang tua, untuk menyatakan rasa cinta pada Sang Nabi, begitu besar. Maka ia dan istrinya sepakat untuk tetap merayakan malam maulid meski hanya dengan berkatan sebungkus tape singkong.

“Kalau bisa, Drun, usahakan semampumu untuk memberi sedekah di malam maulid. Semampunya saja. Karena yang sampai kepada Gusti Allah dan Rasul-Nya bukan uang kamu, bukan hadiah berkatan kamu, tapi takwa dan cintamu pada Sang Nabi.” Begitu tutur orang tuanya dulu.

Tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Sehari sebelum malam mulia itu datang Kang Sodrun mendapat cukup dana. Maka jadilah keduanya merayakannya dengan berkatan yang membuat para tetangga tersenyum gembira menerimanya. Bukan hanya sekedar tape singkong seperti yang direncanakan.

Mengingat maulid tahun lalu itu kini Kang Sodrun merasa lega. Bibirnya mulai mengembang. Berat nafasnya ia hembus kuat-kuat, membuang sumbatan yang menyuntuki pikirannya. Dalam hatinya ia berbisik; apapun yang akan terjadi akan tetap kupersembahkan hadiah bagi Sang Nabi di hari ulang tahunnya. Semampuku akan kuusahakan membuat Sang Nabi tersenyum bahagia melihat sebagian umatnya dibahagiakan di hari kelahirannya. Insya Allah.

Kisah Pengemis Yahudi Buta & Nabi Muhammad



Alkisah, di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah saw mendatanginya dengan membawakan makanan. Tanpa berucap sepatah kata pun, Rasulullah menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah Muhammad—orang yang selalu ia caci maki dan sumpah serapahi.
Rasulullah saw melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah saw praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abubakar berkunjung ke rumah anaknya Aisyah, yan g tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah. Ia bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan Rasulullah yang belum aku kerjakan?”
Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.”
“Apakah Itu?” tanya Abubakar penasaran. Ia kaget juga karena merasa sudah mengetahui bagaimana kebiasaan Rasulullah semasa hidupnya.
“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu ?”
Abubakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”
“Bukan! Engkau bukan ora ng yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu dengan ketus “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku.”
Abubakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw.”
Seketika itu juga kaget pengemis itu. Ia pun menangis mendengar penjelasan Abubakar, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. ” Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar saat itu juga dan sejak hari itu menjadi Muslim.

Mukjizat Nabi Muhammad saw

Tidak ada mukjizat yang diberikan Allah kepada seorang nabi melainkan mukjizat itu pun diberikan kepada Nabi saw. secara persisi sama atau bahkan lebih hebat. Umar bin Sawad mengatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berkata kepadanya, “Apa yang Allah berikan kepada para nabi maka hal itu pun diberikan kepada Nabi Muhammad saw.” Ia berkata, “Isa as. diberi mukjizat menghidupkan orang yang sudah mati.” Syafi’i berkata, “Muhammad saw. diberi mukjizat berupa rintihan batang pohon kurma yang beliau selalu berkhutbah sambil bersandar kepadanya sebelum disiapkan sebuah mimbar. Setelah memiliki mimbar, merintihlah batang kurma hingga suaranya terdengar. Rintihan ini lebih besar daripada mukjizat Isa as.” Mukjizat para nabi yang terdahulu bersifat temporal dan konkret. Mukjizat itu bisa dilihat dengan mata oleh orang yang menyaksikannya.
Jika mukjizat itu lenyap, lenyap pula dari penglihatan. Nabi Muhammad saw. diberi mukjizat seperti ini dan hal-hal luar biasa yang banyak jumlahnya. Di antara pemberian itu terbelahnya bulan, ditahannya pergerakan matahari, terpancarnya air dari sela-sela jarinya, jumlah makanan menjadi banyak, terpancarnya air, pohon yang berbicara, batang yang merintih, batu-batu dan hewan yang memberi salam, menyembuhkan orang yang sakit, dikabulkannya doa, memberikan kesegaran kepada pasukan dengan air yang sedikit, dan mukjizat lainnya yang jumlahnya banyak. Cerita tentang sebagian mukjizat itu sampai kepada kita secara qath’i, dan saya, insya Allah sebentar lagi, akan menceritakan salah satunya, yaitu terbelahnya bulan. Mukjizat-mukjizat ini sama dengan mukjizat para nabi lainnya, yaitu bersifat temporer, walaupun Rasulullah saw. berbeda dengan nabi yang lain dalam hal banyaknya mukjizat beliau. Tapi, pengaruh mukjizat ini telah hilang setelah Nabi saw. wafat atau setelah disaksikan orang. Mukjizat itu hanya diterima oleh orang yang beriman dan merasa yakin, sehingga keimanannya menjadi bertambah. Namun, mukjizat yang hanya dimiliki oleh Rasulullah saw. dan tidak dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya, adalah mukjizat yang abadi selama manusia hidup di dunia. Yakni, Al-Qur’an Al-Karim yang tidak pernah kering mata airnya, tidak akan pernah hilang keajaibannya, dan tidak akan pernah habis manfaatnya.
Al-Qur’an ini dipelihara oleh pemeliharaan Allah dari perubahan, penggantian, dan pemalsuan, baik yang ada dalam dada manusia maupun yang ada dalam bentuk tulisan-tulisan. Al-Qur’an mengandung obat dan penyembuh, pelajaran dan hukum-hukum, kisah-kisah orang-orang sebelum kita, dan menggambarkan keadaan orang-orang setelah kita. Al-Qur’an merupakan tali Allah yang sangat kuat. Siapa pun yang beriman dan mengikutinya, maka dia beroleh petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkan dan melepaskan diri darinya, maka dia sesat dan binasa, merugi dan gagal. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara para nabi kecuali mereka diberi sejumlah mukjizat yang di antaranya manusia beriman kepadanya dan mukjizat yang aku terima adalah wahyu. Allah mewahyukannya kepadaku. Maka aku berharap kiranya menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih dengan lafal Muslim) Sumber: Keagungan Nabi Muhammad saw.