WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN ANTARA
PERUSAHAAN TAMBANG
DENGAN
MASYARAKAT PEMILIK TANAH
PERUSAHAAN TAMBANG
DENGAN
MASYARAKAT PEMILIK TANAH
(Suatu
Studi Di Konawe Utara)
OLEH
MUHAMMAD YUNUS
2008 30 101
KEKHUSUSAN; HUKUM PERDATA
PROGRAM STUDI; ILMU-ILMU HUKUM
FAKULTAS; HUKUM
UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2012
MUHAMMAD YUNUS
2008 30 101
KEKHUSUSAN; HUKUM PERDATA
PROGRAM STUDI; ILMU-ILMU HUKUM
FAKULTAS; HUKUM
UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2012
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
.............................................. ii
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
......................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................... 6
C.
Tujuan Penelitian
.................................................................... 7
D. Kegunaan
Penelitian
............................................................... 7
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Perjanjian dan Kontrak .......................................... 8
B.
Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
dan
Saat Lahirnya Perjanjian .......................................................... 9
C.
Pelaksanaan Perjanjian dan Pembatalan Perjanjian
................... 10
D.
Pengertian Pertambangan
......................................................... 11
E.
Dasar Hukum
Penggaturan Pengelolaan
Pertambangan
......................................................................... 20
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
....................................................................... 41
B.
Populasi dan Sampel
............................................................... 41
C.
Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 41
D.
Jenis dan Sumber data
............................................................ 42
E.
Teknik Analisis data
............................................................... 43
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini,
telah kita ketahui bahwa sektor pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara cukup
potensial dan menjadi perhatian investor Nasional maupun asing yang bergerak di
bidang pertambangan. Sulawesi Tenggara memiliki kandungan tambang yang sangat
potensial dan telah banyak perusahaan yang telah melakukan eksplorasi utamanya
kabupaten Buton, Konawe, Konawe Utara, dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara.
Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Tenggara memilki potensi pertambangan yang
dapat diandalkan, dan itu sudah mulai keliatan pemanfaatannya.
Herry Asiku Ketua Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Sulawesi Tenggara mengharapkan para
pemegang Kuasa Pertambangan (KP) sebaiknya tidak terlalu lama melakukan eksplorasi
yang sampai bertahun tahun lamanya dan disarankan tahap eksplorasi cukup dalam
1 sampai 3 tahun lamanya dan setelah itu telah dapat melakukan eksploitasi.
Kadin Sulawesi Tenggara juga mengharapkan perusahaan yang akan melakukan
eksploitasi dapat bermitra dengan pengusaha lokal Sultra dan hal ini
dimaksudkan agar terjadi proses alih teknologi di sektor pertambangan.
Kehadiran investasi di suatu daerah juga diharapkan akan membuka lapangan kerja
baru bagi masyarakat.
Karena
lahan tambang yang ada tidak semua adalah milik negara sebagian besar milik
masyarakat. Dimana bahan tambang merupakan salah satu sumberdaya alam yang
dikuasai oleh negara dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral Batubara dan Nikel. Pasal 33 yaitu:
“Pemegang
IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang
usaha kegiatan pertambangannya”.
Saban hujan, material tanah dari atas bukit yang
digalih oleh excavator perusahaan tambang, jatuh bebas ke tengah perkampungan
yang dihuni 335 jiwa, sebagian terus ke laut. Perusahaan tambang tidak membuat
dranase agar erosi tersalur baik tanpa harus merusak lingkungan. Berapa bulan
yang lalu terjadi longsor, menimbun sebuah rumah. Beruntung, tidak ada yang
jatuh korban jiwa. Segera setelah bantuan perbaikan rumah yang diberikan
perusahaan, peristiwa itu hanya disebut bencana alam, dan pemilik perusahaan
tambang dipuji memiliki perhatian yang tinggi.
Tidak ada yang mempersoalkan benching system atau
penambangan menggunakan metode terasering, agar longsor tidak mudah terjadi dan
tidak ada yang ribut soal pentingnya safety bump atau semacam dueker pada sisi
kiri-kana jalan tambang, sehingga bila ada kendaraan lepas kendali tidak lantas
meluncur bebas ke pemukiman penduduk.
Mandiodo, Tapuemea, Tapunggaeya, Tapunggaeya lama
dan Tapunopaka, keempatnya adalah perkampungan nelayan di kaki bukit, barisan
pegunungan yang indah di tepi pantai. Di sela-sela kepitan bukit dan laut
itulah masayarakat nelayan Molawe membangun perkampungan.
Tapuemea dan Tapunggaeya merupakan dua Desa
pemekaran Tapunggaeya Lama, menyusul transmigrasi 19 Tahun lalu. “Tapunggaeya
Lama hanya bisa dicapai lewat laut,”
sebagaiamana dalam sejarah pemekaran daerah Konut bahwa wkatu itu
Kecamatan Molawe belum dimekarkaan dari Kecamatan Lasolo, oleh pemerintah, dari
Ibu Kota Kecamatan dibuatkan jalan raya menyusuri pantai, naik turun bukit,
menghubungkan tiga Desa yang terisolir, seperti; Mandiodo, Tapuemea, dan
Tapunggaeya Baru.
Setelah jalan tembus, pemerintah membangun Taman
Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) 11 Tapunggaeya dan Seklah Dasar (SD)
Andongaunaasi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 Lasolo, dan sebuah Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), agar anak nelayan terisolir itu bisa mengenyam
pendidikan. Semua sekolah itu kini dikepung perusahaan tambang bahkan sampai
menggaruk di halam sekolah. Molawe benar-benar sarang Nikel. Perusahaan tambang
datang sekitar Tahun 2009. PT. Sriwijaya membangun dermaga di tengah
perkampungan Tapuemea yang dihuni 92 kepala keluarga (KK).
Perusahaan tambang selalu melewati atau menumpang
jalan masyarakat. Lalu lintas alat berat berbaur bersama lalu lintas masyarakat
yang keluar masuk. “rawan bahaya, tapi tidak ada jalan lain. Kalau ketemu alat
berat, lebih baik kita yang mengalah, berhenti sampai dia berlalu. Harusnya
mereka bangun jalan sendiri, jangan menumpang jalan yang telah ada sebelum
mereka datang.
Untuk keluar ke jalan utama ibu kota kecamatan,
mereka harus melewati sembilan perusahaan tambang. Yaitu PT. Sriwijaya, PT.
Antam, PT. Cinta Jaya, PT. Bumi Konawe Minerina (BKM), PT. Buena Persada Mining
(BPM), PT. Ana Konawe, PT. Munghni Energi Bumi, PT. Harfah Indotec, PT. Sangia.
Bisa dibayangkan begitu sibuknya lalu lintas.
Berdasarkan informasi dari bapak Nurhady yang
bekerja sebagai wartawan di Kendari Ekspres yang bertugas di Konawe Utara ada
dua perusahaan diantaranya belum berproduksi. PT. Sangia belum melakukan
pengolahan, dan PT. Antam menghentikan aktivitasnya karena masalah tumpang
tindih lahan, izin yang di keluarkan Bupati Konut untuk sebuah perusaan, menindih
separuh lahan PT. Antam. Masalah ini sedang berproses di meja pengadilan.
Ore Nikel berhamburan di tengah jalan. Pada musim
panas, jalan berselimut debu. Giliran hujan, jalanan menjadi bubur lumpur.
Di musim hujan, Tapuemea dan Tapunggaeya
kembali terisolir, tidak bisa kemana-mana. Jangankan kendaraan, orang saja
harus jatuh bangun naik turun bukit yang licin berlumpur. Sebenarnya,
penambangan yang seronok memantik banyak keluh kesah menggemelatukkan geraham.
Namun hanya bisa disimpan dalam hati.
Diantara Desa bertetangga, Warga Tapunopaka masih
lebih baik nasibnya dibanding Tapunggaeya, Tapuemea dan Mandiodo. Di Tapunopaka
berdiri site (lokasi) PT. Antam yang dikelolah berdasarkan good mining practice (praktek pertambangan yang baik).
PT. Bumi Konawe Abadi (BKA) di beri label “Bandel”
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Konawe Utara. PT. Bumi Konawe Abadi
(BKA) adalah sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Konawe Utara.
Dari beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan
penambangan ternyata bahwa PT. BKA tidak kooperatif. Karena perusahaan tambang
yang beroperasi sering melanggar kesepakatan yang dibuat dengan DPRD mengenai
penanganan abrasi yang terjadi di daerah itu. Apa yang dilakukan perusahaan
kemudian justru melakukan reklamasi di pantai. Perilaku itu dianggap
memperparah dan akan menyebabkan terjadinya abrasi yang bertambah besar,
dikarenakan perusahaan telah memperpanjang pelabuhannya. Akibat dari abrasi itu
saat ini sejumlah Desa yakni Desa Kokapi, Desa Motui, Desa Puuwonggia dan Desa
Lambuluio,terancam musnah. Bahkan, beberapa sekolah yaitu Sekolah Dasar (SD)
Kokapi dan Madrasah Tsanawia (MTs) Kokapi ikut terancam. Karena (PT. BKA, red)
tidak melakukan sesuai kesepakatan. alasannya karena permintaan nelayan, bahwa
jangan sampai mengganggu jaring mereka.
Alasan tersebut, tidak dapat di terima dan dianggap
mengada-ada karena adanya kepentingan kepentingan beberapa orang lalu mengancam
nyawa dan kepentingan umum. Jumlah warga yang benar-benar nelayan di sana,
kalau kita hitung, paling hanya lima orang. Sehingga tidak berjalan jika perusahaan
tidak mematuhi kesepakatan. Apalagi ini sudah mengancam orang banyak. Komisi C DPRD
Konut juga menyesalkan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar
Rp 300 juta dari PT. BKA, sampai saat ini belum di dibayarkan. “Padahal,
pembayaran ini mereka telah janjikan sebelumnya”. Hal ini, lanjut dia, bertolak
belakang dengan pengakuan pihak perusahaan yang mengklaim telah menyalurkan
dana CSR tersebut. Sedianya, dana CSR diperuntukkan untuk bantuan sumur gali di
sembilan Desa, kompensasi kebisingan Rp 50 juta, bantuan bagi orang tua jompo,
Imam Mesjid dan janda-janda terlantar Rp 25 ribu per bula.
Berdasarkan latar
belakang di atas, oleh penulis hendak mengkaji melalui penelitian dengan
memilih judul Wanprestasi Dalam Perjanjian
Antara Perusahaan Tambang Dengan Masyarakat Pemilik Tanah (Suatu
Studi Di Konawe Utara).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Faktor-faktor apakah yang mnyebabkan
wanprestasi dalam perjanjian yang disepakati ke dua belah pihak tidak
dilaksanakan?
2.
Akibat-akibat apakah yang timbul jika
perjanjian antara pengusaha tambang dengan masyarakat tidak sesuai kesepakatan
para pihak?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan Hasil dari kegiatan ini akan
menunjuk dua (2) hal sebagai tujuan diadakannya penelitian, sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan memahami Faktor-faktor
apakah yang menyebabkan dalam perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak
tidak dilaksanakan?
2.
Untuk mengetahui dan memahami akibat
hukum yang timbul jika perjanjian antara pengusaha tambang dengan masyarakat
tidak sesuai kesepakatan para pihak?
D.
Kegunaan
Penelitian
1.
Sebagai bahan pengetahuan hukum
khususnya mengenai Eksistensi Hukum Perjanjian
dalam penguatan hak keperdataan
atas tanah di bidang pertambangan?
2.
Menambah wawasan dan pengetahuan
peneliti tentang perjanjian-perjanjian dalam pertambangan?
3.
Memberikan masukan kepada instansi
terkait dan pihak tambang mengenai penambangan nikel beserta dampaknya?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Perjanjian
1.
Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract
/agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam
hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa
istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak
mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk
menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan
didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau
perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan
istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak
diberikan.
Pada Pasal 1313 KUHP merumuskan
pengertian perjanjian, adalah :
“suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda
mengenai pengertian perjanjian”
Prof.
Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika
seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.
Prof. Van Dune berarti hubungan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan Prof. RM
Sudikno Mertokusumo (Jenie, 2007) menyatakan bahwa perbuatan hukum terjadi
karena kerjasama dua orang atau lebih. Di dalam kerjasama itu, tujuan para pihak
dapat sama dapat juga berlainan tetapi saling mengisi.
Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan
perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang
dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
2.
Macam–Macam
Perjanjian
Macam-macam
perjanjian obligator ialah sebagai berikut;
1.
Perjanjian dengan cuma-cuma
dan Perjanjian Dengan Beban
Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian
dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b.
Perjanjian Sepihak Dan
Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi
kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c.
Perjanjian Konsensuil,
Formal Dan, Riil
Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah
perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara
tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan
adanya kata sepakat, harus diserahkan.
d.
Perjanjian Bernama, Tidak
Bernama Dan, Campuran
Perjanjian
bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata
ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai
perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
3. Jenis-Jenis Kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP
tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah
penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak
atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing
pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur
dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak
lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk
berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya
perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma,
perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting
pembedaan tersebut ialah berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian
sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik
resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
B.
Syarat-Syarat
Sahnya Suatu Perjanjian dan Saat lahirnya Perjanjian
1.
Syarat-Syarat
Sah Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHP
Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian,
yaitu :
a. Sepakat Mereka Yang
Mengikatkan Dirinya
Syarat
pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh
karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu
adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut
dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
b. Kecakapan Untuk Membuat
Suatu Perikatan
Pada saat
penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau
cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUHPerdata yang
disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
c. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Secara
yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui.
Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap
perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian
penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
d. Suatu Sebab Yang Halal
Setiap
perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab
dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat
pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang
atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini
dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan
dapat dijalankan.
2.
Saat
Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a.
Kesempatan penarikan kembali penawaran;
b.
Penentuan resiko;
c.
Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d.
Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas
konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya
konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang
yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian
kehendak antara para pihak di dalam kontrak.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak
yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan
kontrak/perjanjian.
C.
Pelaksanaan Perjanjian
dan Pembatalan Perjanjian
1.
Pelaksanaan
Perjanjian
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari
pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam Pasal 1338
sampai dengan Pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai
tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam
kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya
ialah Pasal 1338 ayat (3) yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan etikat baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak
harus mengindahkan etikat baik saja, dan asas etikat baik terkesan hanya
terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada
fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Hal-hal yang
mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
1.
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
2.
Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang
diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan
hukum pelengkap.
3.
Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang
dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu
banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya
menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan
kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam
suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
a.
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang
bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan,
contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat
tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
b.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah
dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas
kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang
tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
2. Pembatalan Perjanjian Yang Menimbulkan
Kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan
sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi
adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan
dalam kontrak.
Ada tiga
bentuk ingkar janji, yaitu :
1.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.
Terlambat memenuhi prestasi, dan
3.
Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan
untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang
wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti
rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan
terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
1.
Pemenuhan perikatan
2.
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3.
Ganti rugi
4.
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
5.
Pembatalan dengan ganti rugi
D.
Perngertian
Pertambangan
1.
Pertambangan
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam
rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan
penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Paradigma
baru kegiatan industri
pertambangan ialah mengacu pada konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi :
a.
Penyelidikan Umum (prospecting)
Penimbunan)
g.
Pengolahan (mineral dressing)
i.
Pemasaran
k.
Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktik hal-hal yang berkaitan dengan industri
pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan yang baik dan benar (good
mining practice)
Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni
Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital),
dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Bahan Golongan A
merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk
menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki
oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara,
Bahan Golongan B dapat menjamin hayat hidup orang banyak, contohnya emas,
perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap
langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer,
batu kapur dan asbes.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility) (selanjutnya dalam artikel akan disingkat
CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan
adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan,
pemegang
saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR
berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di
mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya
harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan,
misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial
dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Eksplorasi, disebut juga penjelajahan atau pencarian, adalah tindakan mencari
atau melakukan perjalanan dengan tujuan menemukan sesuatu; misalnya daerah tak
dikenal, termasuk antariksa (penjelajahan angkasa), minyak bumi
(eksplorasi minyak bumi), gas alam,
batubara,
mineral,
gua, air, ataupun informasi.
Kegiatan pertambangan membawa dampak positif dan negatif dalam
perkembangannya seiring dengan bertambahnya waktu. Dampak positif dari kegiatan
pembangunan di bidang pertambangan adalah :
a.
Memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional;
b.
Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD);
c.
Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar
tambang;
d.
Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
e.
Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
f.
Meningkatkan kualitas sdm masyarakat lingkar tambang;
g.
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar
tambang.
Dampak negatif dari sektor pertambangan tidak dapat diingkari pula memiliki
daya rusak. Mulai dari pertambangan emas Freeport di Papua, Rio Tinto di
Kalimantan Timur, barisan Tropikal Mining/laverton gold di Sumatra Selatan,
Inco di Sulawesi Selatan hingga PTA Arumbai di Nusa Tenggara, dan banyak
lainnya. Kerusakan dari resiko pertambangan tersebut antara lain:
a.
Penggusuran lahan pertanian dan tempat tinggal serta
lahan peruntukkan lainnya (makam, kawasan keramat, mata air , hutan dan
lainnya) karena diubah menjadi kawasan pertambangan.
b.
Hilangnya mata pencaharian warga setempat karena wilayah
kelolanya berubah menjadi kawasan pertambangan ataupun menjadi wilayah dampak.
c.
Dampak pencemaran limbah-limbah pertambangan yang
melibatkan sejumlah bahan beracun berbahaya (b3) yang jumlahnya sangat besar.
d.
Terganggu hingga rusaknya sumber air, tanah dan
keanekaragaman hayati.
e.
Dampak erosi sosial budaya akibat masuknya modal dan
para pendatang terhadap sosial budaya masyarakat lokal.
f.
Lubang-lubang raksasa dan limbah tambang yang
dibiarkan terbuka secara permanen saat pertambangan usai.
Bersandarkan pada dampak negatif ini, khususnya terhadap penggusuran
lahan dan hilangnya mata pencaharian warga setempat maka dalam Pasal 135
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menegaskan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi atau
IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat
persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
2.
Pertambangan Mineral
Menurut Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), usaha pertambangan
dikelompokkan atas:
a. Pertambangan mineral; dan
b. Pertambangan batubara.
Pertambangan
mineral sendiri digolongkan atas:
a. Pertambangan mineral
radioaktif;
b. Pertambangan mineral logam;
c. Pertambangan mineral bukan
logam; dan
d. Pertambangan batuan.
Sebagaimana
terurai pada Pasal 50 UU Minerba, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) mineral
radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah.
a.
Pertambangan
Mineral Logam
Mengenai pertambangan mineral logam, WIUP diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000
hektare dan paling banyak 100.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan
IUP Eksplorasi mineral logam, dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda, setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Sementara, untuk pemegang
IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000
hektare.
b.
Pertambangan
Mineral Bukan Logam
Untuk pertambangan mineral bukan logam, WIUP diberikan dengan cara
permohonan wilayah kepada pemberi izin. Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan
logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 hektare dan paling banyak
25.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan
logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain
yang keterdapatannya berbeda, setelah mempertimbangkan pendapat pemegang IUP
pertama. Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan
luas paling banyak 5.000 hektare.
3.
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
(IUPK) Adalah merupakan kewenangan Pemerintah, dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Yang dimaksud dengan IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (“UU Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas. Pasal 77 UU Minerba
mengatur bahwa setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh
IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUPK
Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia
yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur
bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. IUP diberikan kepada:
1.
Badan usaha, yang dapat berupa badan usaha swasta,
Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
2.
Koperasi; dan
3.
Perseorangan, yang dapat berupa orang perseorangan,
perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.
Pasal 83 UU Minerba mengatur persyaratan luas wilayah dan jangka waktu IUPK
sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK
meliputi:
a. Luas 1 (satu) WIUPK
untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan
luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. Luas 1 (satu) WIUPK
untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan
luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. Luas 1 (satu) WIUPK
untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas
paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
d. Luas 1 (satu) WIUPK untuk
tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas
paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. Jangka waktu IUPK
Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan)
tahun.
f. Jangka waktu IUPK Eksplorasi
pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
g. Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam
atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Dalam pelaksanaannya, IUPK tidak dapat digunakan untuk kegiatan
pertambangan selain yang tertera dalam pemberian IUPK. Dalam hal proses
Eksplorasi, jika pemegang IUP ingin menjual mineral logam atau batubara, maka
pemegang IUP Eksplorasi wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan yang diberikan oleh Menteri.
4.
Persyaratan Untuk Memperoleh Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Operasi Produksi
IUP operasi produksi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dalam
rangka pertambangan. IUP tipe ini diberikan kepada badan usaha, koperasi atau
perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pasal 46 UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP
Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
Pasal 23 PP
23/2010 mengatur bahwa persyaratan untuk memperoleh IUP Operasi Produksi
meliputi persyaratan:
1.
Administratif;
2.
Teknis;
3.
Lingkungan; dan
4.
Finansial
1.1. Persyaratan administratif
untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara:
1. Surat permohonan;
2. Susunan direksi dan daftar
pemegang saham; dan
3. Surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral bukan logam dari batuan:
1. Surat permohonan;
2. Profil badan usaha;
3. Akta pendirian badan usaha yang bergerak di
bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. Nomor pokok wajib pajak;
5. Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. Surat keterangan domisili.
1.2. Persyaratan
administratif untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral logam dan batubara:
1. Surat permohonan;
2. Susunan pengurus; dan
3. Surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral bukan logam dan batuan:
1. Surat permohonan;
2. Profil koperasi;
3. Akta pendirian koperasi yang
bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
4. Nomor pokok wajib pajak;
5. Pengurus; dan
6. Surat keterangan domisili.
1.3. Persyaratan
administratif untuk orang perseorangan, meliputi:
a. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral logam dan batubara:
1. Surat permohonan; dan
2. Surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral bukan logam dan batuan:
1. Surat permohonan;
2. Kartu tanda penduduk;
3. Nomor pokok wajib pajak; dan
4. Surat keterangan domisili.
1.4. Persyaratan
administratif untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer
meliputi:
a.
Untuk IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:
1.
Surat permohonan;
2.
Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3.
Surat keterangan
b. Untuk IUP Operasi Produksi
mineral bukan logam dari batuan:
1.
Surat permohonan;
2.
Profil perusahaan;
3.
Akta pendirian perusahaan yang bergerak di bidang
usaha pertambangan;
4.
Pokok wajib pajak;
5.
Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6.
Surat keterangan domisili.
2.1. Persyaratan
teknis untuk IUP Operasi Produksi, meliputi:
a. Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat
geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi
yang berlaku secara nasional;
b. Laporan lengkap eksplorasi;
c. Laporan studi kelayakan;
d. Rencana reklamasi dan pascatambang;
e. Rencana kerja dan anggaran biaya;
f. Rencana pembangunan sarana dan prasarana
penunjang kegiatan operasi produksi; dan
g. Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau
geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.
3.1. Persyaratan
lingkungan untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
a. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan
b. Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.1. Persyaratan finansial
untuk IUP Operasi Produksi, meliputi:
a. Laporan keuangan tahun terakhir
yang telah diaudit oleh akuntan publik;
c. Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun
terakhir; dan
d. Bukti
pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi
pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang telah berakhir.
5.
Persyaratan untuk Memperoleh Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Eksplorasi
IUP eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 29
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”), IUP eksplorasi
diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan
yang telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Dalam hal kegiatan
eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP eksplorasi yang
mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi
IUP.
Pasal 23 PP
23/2010 mengatur bahwa persyaratan IUP Eksplorasi meliputi persyaratan:
1.
Administratif;
2.
Teknis;
3.
Lingkungan; dan
4.
Finansial
1.1. Persyaratan
administratif untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi mineral
logam dan batubara:
1. Surat permohonan;
2. Susunan direksi dan daftar
pemegang saham; dan
3. Surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi mineral
bukan logam dari batuan:
1. Surat permohonan;
2. Profil badan usaha;
3. Akta pendirian badan usaha yang
bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
4. Nomor pokok wajib pajak;
5. Susunan direksi dan daftar
pemegang saham; dan
6. Surat keterangan domisili.
1.2. Persyaratan
administratif untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan
batubara:
1.
Surat permohonan;
2.
Susunan pengurus; dan
3.
Surat keterangan domisili.
b.
Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan:
1.
Surat permohonan;
2.
Profil koperasi;
3.
Akta pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4.
Nomor pokok wajib pajak;
5.
Susunan pengurus; dan
6.
Surat keterangan domisili.
1.3.
Persyaratan administratif untuk orang
perseorangan, meliputi:
a.
Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.
Surat permohonan; dan
2.
Surat keterangan domisili.
b.
Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan:
1.
Surat permohonan;
2.
Kartu tanda penduduk;
3.
Nomor pokok wajib pajak; dan
4.
Surat keterangan domisili.
1.4.
Persyaratan administratif untuk
perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a.
Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara:
1.
Surat permohonan;
2.
Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3.
Surat keterangan.
b. Untuk IUP
Eksplorasi mineral bukan logam dari batuan:
1.
Surat permohonan;
2.
Profil perusahaan;
3.
Akta pendirian perusahaan yang bergerak di bidang
usaha pertambangan;
4.
Nomor pokok wajib pajak;
5.
Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6.
Surat keterangan domisili.
2.1. Persyaratan teknis untuk IUP
Eksplorasi, meliputi:
a.
Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga
pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
b.
Peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat
geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi
yang berlaku secara nasional,
3.1. Lingkungan untuk IUP
Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4.1. Persyaratan
finansial untuk IUP Eksplorasi, meliputi:
a. Bukti penempatan
jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan
b. Bukti pembayaran
harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau
batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya
pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam
atau batuan atas permohonan wilayah.
6.
Prosedur Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi adalah Izin yang diberikan untuk
kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan dalam rangka pertambangan. IUP tipe ini diberikan kepada badan
usaha, koperasi atau perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi.
Pasal 46 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. Jaminan dari pemerintah ini hanya akan berlaku dalam hal
pemegang IUP Eksplorasi memenuhi seluruh kewajibannya sebagaimana yang diatur
dalam IUP Eksplorasi. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha,
koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau
batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
1.
Jangka Waktu IUP Operasi Produksi
Dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali
masing-masing selama 10 tahun, untuk pertambangan mineral logam. Sedangkan
untuk pertambangan mineral bukan logam, dapat diberikan untuk jangka waktu IUP
selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing selama 5 tahun.
Untuk pertambangan batuan, diberikan jangka waktu paling lama 5 tahun dan
paling lama 20 tahun untuk pertambangan batubara.
2.
Pemberian IUP Operasi Produksi
Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”)
menyatakan bahwa dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan
kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan
tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan
penjualan;
b. IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan atau
c. IUP Operasi
Produksi.
IUP Operasi Produksi khusus diberikan oleh:
a. Menteri apabila
kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas provinsi dan negara;
b. Gubernur apabila kegiatan pengangkutan dan
penjualan dilakukan lintas kabupaten/kota; atau
c. Bupati/walikota
apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
IUP Operasi Produksi khusus diberikan oleh:
a. Menteri,
apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari provinsi lain dan/atau
lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas provinsi;
b. Gubernur,
apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari beberapa kabupaten/kota
dalam 1 (satu) provinsi dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian
berada pada lintas kabupaten/kota; atau
c. Bupati/walikota,
apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) kabupaten/kota
dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1 (satu)
kabupaten/kota.
E.
Dasar Hukum Penggaturan Pengelolaan
Tamabang Nikel Di Konawe Selatan
Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya
alam banyak diwarnai oleh pradigma yang menilai sumberdaya alam sebagai sumber
pendapatan ketimbang modal, pradigma tersebut telah berakar jauh sebelum
terjadinya revolusi industri sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk
menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju kepada
keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi. Implikasi dari pandangan dunia (world view) yang demikian
secara sadar atau tidak telah membentuk (mode
of production) seluruh aktifitas ekonomi, termasuk eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan, kehutanan dan perkebunan.
Sejauh yang diketahui, eksploitasi
sumberdaya alam masih tetap merupakan pencanaran dari pradigma tersebut di
atas. Ekploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi
lingkungan hidup tetap merupakan fenomena umum. Bahkan dalam batas-batas
tertentu keberadaan industri pengelolaan sumber daya alam dalam suatu wilayah,
bukan hanya menempatkan diri sebagai identitas asing (alien entity) tetapi Juga
banyak kasus merupakan sumber prahara sosial.
Landasan
konstitusional dan pengaturan pengelolaan sumber daya alam pertambangan atau
bahan galian ialah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang. Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambagan. Dalam ketentuan Pasal 33
Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan:
”Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”.
Substansi dari
ketentuan diatas adalah:
1. Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk benda-benda yang terdapat
di dalam bumi dan air dikuasai oleh negara,
2. Tujuan
penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua
aspek kaidah tersebut diatas, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya
merupakan satu kesatuan sistematik. Hak menguasai negara merupakan instrumen (bersifat instrumental),
sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan
tujuan (objectives). Terlalu
menekankan, apalagi semata-mata melihat Pasal 33 sebagai dasar bagi Negara
untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidaklah
mencukupi, bahkan dapat menyesatkan. Karena unsur utama hak menguasai oleh
negara adalah untuk mengatur dan mengurus (regelen
en besturen). Dalam kerangka pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa
dalam penguasaan itu negara hanya melakukan bestuursdaad dan tidak melakukan eigensdaad. Apabila terjadi pergeseran dari bestuursdaad menjadi eigensdaad maka tidak
akan ada jaminan bagi tujuan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
pemahaman ini betapa esensialnya untuk selalu mengukur pelaksanaan atau
penyelenggaraan hak menguasai negara dengan tujuan mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Mengingat
sumber daya alam pertambangan yang unrenewable
resources, maka pengusahaannya harus dilakukan dengan penuh ketelitian
dan kehati-hatian, agar dapat memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang. Sebab apa yang dinikmati oleh generasi sekarang
dengan pemanfaatan sumberdaya alam, pada hakekatnya pinjaman dari generasi yang
akan datang.
Oleh
karena itu salah satu upaya untuk mewujudkan makna slogan tersebut cukup arif
dan bijaksana adalah melalui aspek pengaturan hukum. Perlu dipahami bahwa
pembentukan aturan hukum yang baru tentu saja tidak selalu keliru, karena
hukumpun menurut Roscoe Pound,
berfungsi sebagai a tool of social
engineering. Sebagai instrument pembaharuan masyarakat (agent of change), hukum harus
sesuai dengan cita-cita keadilan sosial agar hukum dapat dipatuhi oleh
masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat diterima oleh masyarakat
tanpa upaya penegakakan (paksaan) melainkan sebagai suatu kebutuhan.
Berkaitan
dengan fungsi hukum tersebut, pembentuk undang-undang (kekuasaan legislative),
melalui penafsiran atas makna Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, telah
meletakkan landasan yuridis, keadilan antar generasi (intergeneration equity) antara lain mealui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 4 huruf (c) “sasaran pengelolaan lingkungan hidup
terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Untuk
mewujudkan tujuan hak penguasaan Negara sumber daya alam pertambangan hanya
dapat dicapai bilamana ada upaya untuk memanfaatkan melalui investasi
pertambangan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar pendayagunaan
sumber daya alam yaitu keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan (sustainability).
Pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan dibutuhkan pendekatan manajemen
ruang yang ditangani sejarah holistik
integrated dengan memperhatikan empat aspek pokok yaitu, aspek
pertumbuhan (growth), aspek
pemerataan (equity), aspek
lingkungan (environment), dan
aspek konservasi (conservation). Pendekatan
yang demikian memerlukan kesadaran bahwa setiap kegiatan pertambangan akan
menghasilkan dampak yang bermanfaat sekaligus dampak merugikan bagi umat
manusia dan umumnya dan masyarakat lokal khususnya jika tidak dikelola secara
profesional dan penuh tanggungjawab.
Dari
aspek hukum lahirlah beberapa ketentuan yang mengatur lingkungan hidup
khususnya yang berkaitan dengan aktivitas atau pengusahaan pertambangan sebagai
berikut;
1.
TAP MPR NOMOR II/MPR/1993 Tentang GBHN,
bagian F Kebijaksanaan Pembangunan
Lima Tahun Keenam, khusunya mengenai pertambangan disebutkan;
“pembangunan pertambangan diarahkan
untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tambang secara hemat dan optimal
bagi pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta ditujukan untuk menyediakan bahan
baku bagi industri dalam negeri bagi keperluan energi dan berbagai keperluan
masyarakat. Serta untuk meningkatkan eksport, meningkatkan penerimaan negara
dan pendapatan daerah serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha”.
Kemudian
pada bagian lain angka 18 tentang lingkungan hidup ditegaskan;
“Pembangunan lingkungan hidup yang
merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga
kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya
kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang
dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan
nasional yanng berkelaanjutan. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan
meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan,
merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan
kualitas lingkungan hidup”.
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral, Batu Bara, Emas, dan Nikel menyebutkan:
“aspek perlindungan lingkungan ini
dipertegas dengan perlunya Amdal, reklamasi serta pengelolaan pasca tambang
termasuk dana jaminannya, kemudian bukan hanya pemegang Ijin Usaha Pertambangan
yang berkewajiban melaksanakan pengembangan wilayah dan masyarakat, pemerintah
daerah pun wajib menyusun program pengembangan wilayah dan masyarakat sekitar
tambang”.
3.
Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Bab VI Pasal 18 ayat (1) menyebutkan;
“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan”.
4. Mijnpolitiereglement 1930, tentang
Peraturan Keselamatan Kerja Pertambangan (Stb.1930 No. 41) dalam Pasal 228 dan
Pasal 354 mengatur tentang lingkungan hidup, lingkungan kerja, kesehatan kerja
dan kebersihan lingkungan perusahaan pertambangan.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak lingkungan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan;
“Usaha
atau kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan
hidup meliputi:
a. Pengubahan
bentuk lahan dan bentang alam;
b. Eksploitasi
sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. Proses
dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, kerusakan dan
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. Proses
dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya;
e. Proses
dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan;
f. Konservasi
sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya;
g. Instroduksi
jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik;
h. Pembuatan
dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
i. Penerapan
teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk;
j. Mempengaruhi
lingkungan;
k. Kegiatan
yang mempunyai resiko tinggi dan mempengaruhi pertahanan negara”
6. Sejumlah Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi serta Peraturan lainnya mengenai Kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan,
Kontraktor terhadap Penanggulangan, pencegahan, pelestarian dan gangguan
pencemaran dalam Pengelolaan lingkungan Hidup sebagai akibat pertambangan bahan
galian, Ketentuan-ketentuan yanng dimaksud antara lain;
a. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 103. K/008/M.PE/1994 tanggal 19 januari 1994 tentang Pengawasan Atas
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan
Dalam Bidang Pertambangan dan Energi
b. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 89.K/008/M.PE/1995 tanggal 2 Mei 1995 tentang Pedoman Teknis Penyusunan
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan untuk Kegiatan
Pertambangan Umum, Minyak dan Gas Bumi serta Listrik dan Pengembangan Energi;
c. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang Pencegahan Dan
Penanggulangan Pengrusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Umum.
d. Keputusan Menteri Pertambangan dan energi
Nomor 1256. K/008/M.PE/1996 tanggal 9 Agustus tentang Pedoman Teknis Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk Kegiatan Pertabangan dan Energi.
e. Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan
Umum Nomor 336.K/271/DDJP/1996 tentang Jaminan Reklamsi. Melihat semua kasus
yang ada di beberapa daerah di Indonesia, ternyata polemik tentang kuasa
pertambangan telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Menurut
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Pasal 2 huruf i. kuasa pertambangan adalah : wewenang yang diberikan kepada
badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan; Sedangkan dalam
Peraturan Pemerintah RI Nomor. 74 Tahun 2001 tentang perubahan kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan pada Pasal 1 ayat
(1);
“Setiap
usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian
strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila
terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan”,
Pasal 1 ayat (2)
mengatakan bahwa kuasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diberikan oleh :
1. Bupati/Walikota apabila wilayah Kuasa Pertambangannya
terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 (empat)
mil laut;
2. Gubernur
apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah
Kabupaten/Kota dan tidak dilakukan kerja sama antar Kabupaten/Kota maupun
antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak
antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut;
3. Menteri
apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Propinsi
dan tidak dilakukan kerja sama antar Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang
terletak di luar 12 (dua belas) mil laut."
Kemudian pada
Peraturan Pemerintah Nomor. 75 Tahun 2001 Pasal 7 ayat (2) Kuasa Pertambangan
dapat berupa:
1. Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum;
2. Kuasa Pertambangan
Eksplorasi;
3. Kuasa
Pertambangan Eksploitasi;
4. Kuasa
Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian;
5. Kuasa
Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan.
Bagi
propinsi diluar Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam, dalam menerbitkan KP
menggunakan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan, Peraturan Pemerintah RI Nomor. 74 Tahun 2001 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1967 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor.
1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan
Dibidang
Pertambangan
Umum dan peraturan perundangan lain yang berhubungan dengan pemberian kuasa
pertambangan sedangkan bagi daerah otonomi khusus ada penambahan dasar hukum
pemberian kuasa pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
: 38 Tahun 2007, Tentang: Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota (kita
terfokus pada Propinsi Sulawesi Tenggara) sehingga jelaslah dasar hukum
pemberian kuasa pertambangan bagi daerah otonomi. Sedangkan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara dalam memberikan ijin kuasa pertambangan berpedoman
kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 38 Tahun 2007, Tentang :
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota dimana pada Bab VIII Pasal 19 ayat (1) :
“Khusus untuk Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebagaimana tertuang dalam
lampiran Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi kewenangan Provinsi.
Dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor : 21 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus maka Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Kuasa Pertambangan
(KP) kepada Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan setelah mendapat
Rekomendasi dari Kabupaten/Kota. Proses ini merupakan solusi yang baik sehingga
konflik yang berkepanjangan dapat teratasi dan diharapkan semua bupati/walikota
khususnya dinas pertambangan di Propinsi Sulawesi Tenggara segera mempelajari
serta memahami pemberian ijin untuk perusahaan pertambangan dan pada saat
sebuah perusahaan yang ingin membuka investasi dibidang pertambangan perlu
diberikan penjelasan tentang proses perijinan sehingga mana yang menjadi
kewenangan kabupaten dan kewenangan propinsi sehingga tidak terjadi
ketidakpastian hukum karena kepastian hukum merupakan hal yang sangat penting
khususnya menjadi jaminan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di
Sulawesi Tenggara.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Utara Sulawesi tenggara dengan
pertimbangan bahan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pihak tambang yang
tidak berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang maupun
oleh Pemerintah Daerah.
B.
Populasi
dan Sampel
Populasi
dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini
seperti Perusahaan Tambang, Masyarakat, dan Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.
Sampel
dalam penelitian ini dipilih secara refresentatif yaitu sampel yang dianggap
layak untuk mewakili populasi. Sampel dalam penelitian ini terdiri atas orang
dengan rincian 2 orang Perusahaan Tambang, 5 orang Masyarakat, 2 orang aparat
Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.
C.
Jenis
dan Sumber Data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah :
4.
Data primer dimana data yang diperoleh
langsung dalam penelitian lapangan
5.
Data sekunder dimana data yang tidak
diperoleh langsung dalam ini melalui kepustakaan guna mendapatkan landasan
teoritis berupa pendapat-pendapat dokumen-dokumen bahan hukum atau
tulisan-tulisan ahli hukum serta peraturan perundang-undangan yaitu terkait
dengan penulis topik kajian penulis.
D.
Teknik
Pengumpulan Data
Terkait pengumpulan data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data adalah :
1.
Library
Research (Penelitian Kepustakaan),
yaitu pengumpulan data dengan cara menelah beberapa literatur serta
bacaan-bacaan lain dan bahan-bahan hukum yang masih relevan serta berhubungan
dengan penelitian ini.
2.
Field
Research (Penelitian Lapangan), yaitu pengumpulan datadengan
mengadakan penelitian secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang
akurat. Adapun metode yang digunakan dalam Field Research tersebut adalah :
a.
Observation
(Pengamatan), yaitu suatu metode pengamatan secara langsung terhadap perusahaan
Tambang, Masyarakat, dan Instansi terkait di Konawe Utara.
b.
Interview
(Wawancara), yaitu suatu metode interaksi secara langsung terhadap perusahaan
Tambang, Masyarakat, dan Instansi terkait di Konawe Utara.
4.
Analisis
Data
Data yang berhasil dikumpul secara
sistematis selanjutnya dianalisa secara dieskritif, kualitatif dengan
memberikan gambaran mengenai obyek penelitian dengan menjelaskan dan
menerangkan mengenai data yang diperoleh dari studi lapangan dan studi
kepustakaan penulis.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Katili,
J.A. 2003, Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan nasional, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
John
W. Head, 2007 Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Edisi Bahasa Indonesia dan
Inggris, ELIPS, Jakarta.
Ihza
Yusron Mahendra, Impor Energi, Beban Ekonomi Asia pada Abad Mendatang,
Indonesia Bukanlah Pengecualian, harian Umum Kompas, Jakarta, 2 Juni 2001.
Haryanto,
Stefanus Keadilan Antar Generasi dan Hukum Lingkungan Indonesia, Harian
Umum Kompas, 11 januari 2001
Madjid,
Nurcholish, 2009, Reformasi di Bumi, Tabloid Tekad Nomor 10 Tahun 1,
4-10 Januari.
Soekanto,
Soeryono 2001, Fungsi Hukum dan Perubahan, Alumni, Bandung.
Biro
Lingkungan dan Teknologi DPE, 2008, Pelaksanaan Analisis Mengenai dampak
Lingkungan (AMDAL) Kegiatan Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Departemen
Pertambangan dan Energi, 2005, 50 Tahun Pertambangan dan Energi Dalam
Pembangunan, Jakarta.
Silalahi,
M. Daud, Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup dan Implikasinya pada
Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, 2005 (Makalah), Diskusi Panel,
FH UNPAD.
Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) 2005, Pendataan
Di Bidang Pertambangan,
insya allah akan lebih baik,,,
BalasHapus