Sabtu, 27 Oktober 2012

Korban Ibrahim

Rahasia Berkah Idul Adha

 Mengenai peringatan hari raya Idul Adha, Al-Quran mencatat sebuah ayat yang menarik.  Ayat ini tentang pengurbanan Nabi Ibrahim AS.  Ia mengurbankan seekor domba jantan sebagai pengganti anak lelaki yang disayanginya. “Kami tebusi anaknya itu sembelihan yang besar (seekor kambing / domba).” (QS 37:107).

Al-Quran Menggambarkan Sembelihan Dengan “Adzim” (Besar)

“Adzim” (Besar) adalah nama yang digunakan bagi Allah. Tapi ayat diatas juga menggunakan nama tersebut bagi korban sembelihan yang nilainya lebih kecil dibandingkan anak Ibrahim. Apa maksud Al-Quran dengan ayat tersebut?

“Sembelihan besar” ini adalah sebuah simbol yang melambangkan keagungan. “Sembelihan besar” menjadi alat penebusan Allah bagi anak lelaki Ibrahim.  Inilah merupakan kemurahan hati Allah. Kematian domba jantan itu telah menebus manusia dan memberikan hidup kepadanya.

Allah yang Menebus dan Menyediakan

Karena Allah yang menebus anak lelaki Ibrahim melalui sembelihan. Sembelihan yang Allah sediakan ialah sebuah domba jantan yang benar-benar murni dan tanpa cacat sedikitpun.

Al-Quran tidak bicara mengenai tempat penyembelihan tersebut.  Namun Kitab Taurat, Kejadian 22:3 menulis: Allah memerintahkan Ibrahim untuk pergi ke Gunung Moria. Ratusan tahun kemudian, Raja Sulaiman membangun Bait Allah di atas gunung yang sama.

Apa Tujuan Berkurban Pada Idul Adha?

Beberapa orang berpendapat tujuan berkurban supaya orang miskin dapat mengambil manfaat dengan makan dagingnya. Pendapat itu tidak salah.  Tetapi benarkah tujuan Allah atas kurban semata-mata hanya itu?

Tidak ada perintah dalam Al-Quran untuk berkurban saat Idul Adha. Satu-satunya alasan adalah meneladani ketaatan Nabi Ibrahim saat berkurban (QS 37:100-113). Dan saat itu dia tidak berada diantara orang-orang miskin.

Karena dia takut kepada Allah dan menyadari dosa-dosanya, maka dia memerlukan tebusan dari Allah. Al-Quran mencatat “Dan yang amat kuinginkan (Nabi Ibrahim) akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat" (QS 26:82). Maka seharusnya tujuan seseorang berkurban adalah karena percaya kepada Allah, pada apa yang telah dilakukan-Nya serta memohon pengampunan dan penebusan-Nya.

Kurban Seperti Apakah Yang Layak Menggantikan Kita Dihadapan Allah?

Sapi KurbanDaging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.  . . . ” (QS 22:37)

Kurban yang layak menggantikan kita dihadapan Allah haruslah lebih tinggi dari seekor hewan. Karena Allah hanya menerima ketaqwaan yang hanya dimiliki oleh manusia, maka kurban yang dapat diterima Allah hanyalah kurban seorang manusia.

Ciri-ciri “Kurban Besar”

Jelas, harus manusia suci, tanpa dosa, dan dikirim Allah. Beberapa orang berpendapat bahwa semua nabi tidak berdosa. Benarkah demikian?  Al-Quran mencatat: Adam dan Hawa berdosa (QS 7:23 ); Nuh berdosa (QS 11:47 ); Ibrahim berdosa (QS 26:82; 14:41 ); Musa berdosa (QS 28:15-16); Harun berdosa (QS 20:93); Daud berdosa (QS 38:24 ); Sulaiman berdosa (QS 38:32,35 ); Yunus berdosa (QS 21:87 ); Muhammad berdosa (QS 48:2; 47:19).

Bagaimana dengan Isa Al-Masih? Tidak ada ayat dalam Al-Quran yang mengatakan Isa Al-Masih berdosa. Sebaliknya Al-Quran mencatat: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci."  Kata “suci” hanya ditujukan kepada Isa Al-Masih. Kedatangan-Nya disebut ajaib karena Dia satu-satunya yang dilahirkan oleh seorang perawan (QS 21:91; 66:12), juga memiliki Kebesaran  (QS 3:45; 4:171) dan disebut “Kalimat-Nya dan roh dari pada-Nya”.

Isa Al-Masih “Kurban” yang Besar

Dengan demikian Isa Al-Masih adalah satu-satunya yang dapat menjadi kurban yang sebenarnya. Mengapa? Karena Dia suci, datang ke dunia dengan cara ajaib, dan dikirim Allah.
Seperti halnya kurban yang harus terlebih dahulu hidup lama sebelum siap dikurbankan, demikian juga Isa Al-Masih. Ia hidup cukup lama sebelum mengurbankan diri-Nya sebagai tebusan. Kematian-Nya di kayu salib telah membuat darah-Nya tertumpah. Dia adalah lambang tebusan Allah seperti yang dikatakan oleh Nabi Yahya, anak Zakaria: “Ini adalah Anak Domba Allah, yang akan dikurbankan untuk menebus dosa-dosa dunia.

Kematian-Nya telah memberikan hidup kepada manusia.  Ia membangkitkan orang dari kematian sebelum Dia sendiri mati. Dia, yang tidak berdosa telah menyerahkan diri-Nya bagi orang berdosa. Dan menjadi tebusan serta memberi hidup bagi orang berdosa.

Rahasia Berkah Idul Adha!!

Isa Al-Masih bukan hanya satu-satunya yang dapat menjadi kurban, tetapi Dia adalah “kurban besar” itu karena menggambarkan semua sifat kurban itu.

Dengan demikian kita dapat mengerti dalam pengertian yang lebih luas arti rahasia dari ayat “Kami tebusi anaknya itu dengan sembelihan yang besar (seekor domba)” (QS 37:107). Mengapa dia “besar?” Karena pengurbanan besarnya mencakup seluruh umat manusia.

Kesimpulan

  • Kematian domba jantan itu telah menebus dan memberikan hidup bagi anak lelaki Nabi Ibrahim
    Tujuan berkurban karena percaya kepada Allah, pada apa yang telah dilakukan-Nya, memohon pengampunan dan penebusan-Nya.Kurban yang dapat diterima Allah adalah kurban seorang manusia yang suci dan tanpa dosa.Isa Al-Masih satu-satunya yang dapat menjadi kurban 'kurban besar'. Karena Dia suci, datang ke dunia dengan cara ajaib, dikirim Allah dan kematian-Nya memberikan hidup kepada manusia sebagai tebusannya. Jelas, Isa Al-Masih mengorbankan diri-Nya bagi seluruh manusia termasuk Saudara.  Hari ini, dengan menerima Isa Al-Masih sebagai Juruselamat, Saudara dapat menikmati hidup yang kekal. Kiranya Saudara mendoakan doa keselamatan dalam “Tindakan Ke-Enam” pada seksi tentang Jalan Keselamatan di situs ini.


Kartojy Bela
Memahami Makna Idul Adha
Cetak
E-mail

Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )   
 Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !

Kartojy Bela